Kapita Selekta Pendidikan
Islam
Oleh: Bambang Sampurno, MA
PERTEMUAN KE 1
PROBLEMATIKA PENDIDIKAN ISLAM
Kritik atau keluhan yang sering di lontarkan
masyarakat dan pihak orag tua murid selama ini, pendidikan agama di sekolah
umum dan perguruan tinggi, belum mampu mengantar peserta didik untuk dapat
memahami dan mengamalkan ajaran agamanya dengan baik dan benar.
Sebagai contoh yang sering dikemukakan,
anak-anak beragama islam, yang sejak disekolah dasar telah memperoleh pedidikan
agama setelah tamat ditingkat menengah banyak diantaranya yang belum mampu
membaca kitab suci Al Qur’an dengan baik dan benar, apalagi menulis dan
menerjemahkan isinya.
Demikian pula kemampuan dalam praktek ibadah
tidak seperti yang diharapkan. Selain kelemahan dalam peguasaan materi (aspek
kognitif ) juga dalam hal pembentukan prilaku (aspek afektif) dampak
nilai-nilai luhur agama dari proses pendidikan agama di sekolah-sekolah oleh
sebagian masyarakat dinilai kurang nampak dalam pribadi anak dalam kehidupan
sehari-hari.
Tingginya frekwensi perkelahian sesama pelajar di kota-kota besar, kurangnya rasa hormat sang anak atau murid kepada guru, bahkan ada yang memukul guru kalau ia tidak naik kelas, akrabnya sebagian anak muda dengan obat-obat perangsang dan terlarang seperti narkotika, ecstassy adanya pergaulan bebas dan “ngumpet sekamar” pelajar putra dan putri atau “kumpul kebo” dikalangan (segelintir) mahasiswa atau generasi muda, sering diangkat oleh sebagian anggota masyarakat dan orang tua sebagai indikasi ketidak berhasilan pendidikan agama disekolah dan perguruan tinggi.
Tingginya frekwensi perkelahian sesama pelajar di kota-kota besar, kurangnya rasa hormat sang anak atau murid kepada guru, bahkan ada yang memukul guru kalau ia tidak naik kelas, akrabnya sebagian anak muda dengan obat-obat perangsang dan terlarang seperti narkotika, ecstassy adanya pergaulan bebas dan “ngumpet sekamar” pelajar putra dan putri atau “kumpul kebo” dikalangan (segelintir) mahasiswa atau generasi muda, sering diangkat oleh sebagian anggota masyarakat dan orang tua sebagai indikasi ketidak berhasilan pendidikan agama disekolah dan perguruan tinggi.
A.Pengertian Pendidikan Islam
Dalam menjelaskan arti Pendidikan Islam akan
banyak kita jumpai beberapa pandangan mengenai pengertian dari Pendidikan Islam
itu sendiri. Burlian Somad.1981, mengatakan bahwa Pendidikan Islam adalah
Pendidikan yang bertujuan membentuk individu menjadi mahluk yang bercorak diri,
berderajat tinggi menurut ukuran Alloh dan isi pendidikannya adalah mewujudkan
tujuan itu, yaitu ajaran Alloh. Secara terperinci beliau mengemukakan,
pendidikan itu disebut Pendidikan Islam apabila memiliki dua ciri khas yaitu :
1.Tujuannya membentuk individu menjadi
bercorak tinggi menurut ukuran Al-Qur’an.
2. Isi Pendidikannya adalah ajaran Alloh yang tercantum dengan lengkap didalam Al-qur’an yang pelaksanaannya didalam praktek hidup sehari-hari sebagaimana yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW.
2. Isi Pendidikannya adalah ajaran Alloh yang tercantum dengan lengkap didalam Al-qur’an yang pelaksanaannya didalam praktek hidup sehari-hari sebagaimana yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW.
Sedangkan menurut Ahmad Marimba bahwa
pendidikan Islam merupakan pendidikan jasmani dan rohani berdasarkan
hukum-hukum Agama Islam menuju terbentuknya kepribadian utama menurut
ukuran-ukuran Islam yaitu suatu kepribadian muslim yang memiliki nilai-nilai
agama Islam, memiliki dan memutuskan serta berbuat berdasarkan nilai-nilai
Islam dan bertanggungjawab sesuai dengan nilai-nilai Islam.
Sementara itu arti pendidikan Islam menurut
hasil seminar pendidikan Islam se-Indonesia tanggal 7 s/d 11 Mei 1960 di
Cipayung Bogor, adalah bimbingan terhadap pertumbuhan rohani dan jasmani
menurut ajaran Islam dengan hikmah mengarahkan, mengajarkan, melatih, mengasuh
dan mengawasi berlakunya semua ajaran Islam.
Dari beberapa uraian tersebut diatas dapat
diambil suatu kesimpulan bahwa pendidikan Islam ialah usaha dalam pengubahan
sikap dan tingkah laku individu dengan menanamkan ajaran-ajaran agama Islam
dalam proses pertumbuhannya menuju terbentuknya kepribadian yang berakhlak
mulia, Dimana akhlak yang mulia adalah merupakan hasil pelaksanaan ajaran Islam
dalam kehidupan sehari-hari sebagaimana yang sudah dicontohkan oleh Nabi
Muhammad SAW. Oleh sebab itu individu yang memiliki akhlak mulia menjadi sangat
penting keberadaannya sebagai cerminan dari terlaksananya pendidikan Islam.
Note:
Terdapat dua istilah
yang hampir sama bentuknya,yakni; Paedagogie dan Paedagogiek. Paedagogie
artinya Pendidikan, sedangkan Paedagogiek artinya ilmu pendidikan.
“Paedagogiek” sebelumnya berasal dari kata “Paedagogia” dan berasal dari kata
“Paedagogos”. Paedagogos berasal dari kata Paedos (anak) dan Agoge
(saya membimbing, memimpin).
Paedagogiek atau ilmu pendidikan ialah pengetahuan yang
menyelidiki, merenungkan tentang gejala-gejala perbuatan mendidik. Sebelumnya paedagogiek
berasal dari kata paedagogia yang berarti pergaulan dengan
anak-anak. Paedagogos ialah seorang pelayan atau bujang pada
zaman Yunani Kuno yang pekerjaannya mengantar dan menjemput anak-anak ke dan
dari sekolah. Termasuk hingga dirumahnya anak-anak tersebut mendapatkan
pengawasan dari para paedagogos itu.
Dalam kredo Islam,
tidak dibedakan antara Iman dan Amal Shaleh. Olehnya itu, pendidikan Islam
sekaligus merupakan pendidikan Iman dan pendidikan Amal. Karena ajaran Islam
berisi ajaran tentang sikap dan tingkah laku pribadi dimasyarakat menuju
kesejahteraan hidup perseorangan dan bersama, maka pendidikan Islam adalah
pendidikan individu dan pendidikan masyarakat.
Karakteristik
Pendidikan Islam
- Pendidikan Islam selalu mempertimbangkan dua sisi kehidupan duniawi dan ukhrawi dalam setiap langkah dan geraknya.
- Pendidikan Islam merujuk pada aturan-aturan yang sudah pasti.
- Pendidikan Islam bermisikan pembentukan akhlakul karimah.
- Pendidikan Islam diyakini sebagai tugas suci
- Pendidikan Islam bermotifkan ibadah.
B.Tujuan Pendidikan Islam.
Tujuan adalah suatu sasaran yang akan dicapai
seseorang atau kelompok orang yang melakukan suatu kegiatan. Sedangkan tujuan
pendidikan Islam yaitu suatu sasaran yang akan dicapai seseorang atau kelompok
orang yang melakukan pendidikan Islam.
Sehubungan dengan hal itu, maka tujuan pendidikan Islam mempunyai makna yang sangat penting, keberhasilan dari suatu sasaran yang diinginkan, arah atau pedoman yang harus ditempuh, tahapan, sasaran, serta sifat dan mutu kegiatan yang dilakukan. Oleh karena itu kegiatan tanpa disertai dengan tujuan, menyebabkan sasarannya akan kabur, akibatnya program dan kegiatan tersebut akan acak-acakan.
Sehubungan dengan hal itu, maka tujuan pendidikan Islam mempunyai makna yang sangat penting, keberhasilan dari suatu sasaran yang diinginkan, arah atau pedoman yang harus ditempuh, tahapan, sasaran, serta sifat dan mutu kegiatan yang dilakukan. Oleh karena itu kegiatan tanpa disertai dengan tujuan, menyebabkan sasarannya akan kabur, akibatnya program dan kegiatan tersebut akan acak-acakan.
Prof.Dr.H.Athiyah al-Abrasy mengemukakan bahwa
tujuan pendidikan Islam, yakni: “Pendidikan dan Pengajaran bukanlah memenuhi
otak anak didik dengan segala macam ilmu yang belum mereka ketahui, tetapi
mendidik akhlak dan jiwa mereka, menanamkan rasa fadhilah (keutamaan),
membiasakan mereka dengan kesopanan tinggi, mempersiapkan mereka untuk suatu
kehidupan yang suci seluruhnya, ikhlas dan jujur. Maka tujuan pokok dan
terutama dari pendidikan Islam ialah mendidik budi pekerti dan pendidikan
jiwa.
Adapun pendidikan Islam mempunyai tujuan untuk
membentuk manusia muslim yang berakhlak mulia, cakap dan percaya pada diri
sendiri dan berguna bagi masyarakat. Sedangkan manusia muslim yang dimaksud
adalah pribadi-pribadi muslim yang mempunyai keseimbangan yang dapat
mengintegrasikan kesejahteraan kehidupan di dunia maupun kebahagiaan kehidupan
di akhirat, dapat menjalin hubungan kemasyarakatan yang baik dengan jiwa sosial
yang tinggi, mengembangkan etos ta’awun dalam kebaikan dan taqwa.
Tujuan Pendidikan Islam dapat dibedakan dengan
melihat dua aspek, yakni Tujuan Teoritis dan Tujuan Proses. Tujuan teoritis terdiri dari berbagai
tingkat, diantaranya:
- Tujuan Intermedier, yaitu tujuan yang merupakan batas sasaran kemampuan yang harus dicapai dalam proses pendidikan pada tingkat tertentu.
- Tujuan Insidental, merupakan peristiwa tertentu yang tidak direncanakan, tetapi dapat dijadikan sasaran dari proses pendidikan pada tujuan intermedier.
- Tujuan akhir pendidikan Islam pada hakikatnya adalah realisasi dari cita-cita ajaran Islam, yang membawa misi bagi kesejahteraan umat manusia sebagai hamba Allah lahir dan bathin di dunia dan di akhirat.
Jika
dilihat dari segi approuch, sistem instruksional dapat dibedakan menjadi
beberapa tujuan, yakni:
- Tujuan Instruksional Khusus;
Diarahkan kepada setiap bidang studi yang harus dikuasai dan diamalkan
oleh anak didik.
- Tujuan Instruksional Umum;
Diarahkan kepada penguasaan atau pengamalan
suatu bidang studi secara umum atau garis besarnya sebagai suatu kebulatan.
3. Tujuan kurikuler;
yang ditetapkan untuk dicapai melalui garis-garis besar program
pengajaran di setiap institusi (lembaga) pendidikan.
4. Tujuan Instruksional;
tujuan yang harus dicapai menurut program pendidikan disetiap sekolah
atau lembaga pendidikan tertentu secara bulat seperti tujuan institusional
SLTP/SMU atau SMK (tujuan terminal)
- Tujuan Umum;
cita-cita hidup yang ditetapkan untuk dicapai melalui proses
kependidikan dengan berbagai cara atau sistem, baik sistem formal (sekolah),
sistem nonformal (non-klasikal dan non-kurikuler) maupun sistem informal (yang
tidak terikat oleh formalitas program waktu, ruang, dan materi).
C. Kelemahan dan Kendala Pendidikan Islam.
Menurut Sardjito Marwan (1996:66-74) dalam
berbagai kesepatan diskusi, seminar, lokakarya, penataran dan lain-lain, telah
sering dikemukakan kelemahan dan kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan
pendidikan agama di sekolah-sekolah umum. Dari kalangan guru, keluhan yang
sering dikemukakan adalah alokasi waktu yang kurang memadai dan isi kurikulum
yang terlalu syarat. Di samping itu, sarana dan lingkungan sekolah sering tidak
menunjang pelaksanaan pendidikan agama.
Juga dari pihak orang tua kurang
memperlihatkan kerjasama. Mereka hanya menuntut anaknya menjadi orang yang
berpengetahuan luas dan berakhlak mulia, taat melaksanakan agama, sementara
mereka tidak mau memberi dukungan dan contoh. Bagaimana seorang anak menjadi
manusia atau generasi berbudi pekerti luhur dan taat melaksanakan perintah
agama seperti shalat, puasa, dan lain-lain kalau orang tuanya dirumah tidak
pernah melakukan shalat dan puasa. Dalam kasus seperti ini, kiranya kurang adil
kalau guru agama dituding sebagai kambing hitam.
Ini tidak berarti tidak ada kelemahan dipihak guru. Banyak kekurangan pihak guru agama. Diantara kekurangan mereka adalah keterbatasan kemampuan menguasai materi yang diajarkan. Dan kalau muncul issu-issu yang mempertentankan nilai-nilai dasar agama dengan penemuan-penemuan baru dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, guru-guru tidak mampu memberikan penjelasan yang memadai. Sebagian guru agama nampaknya tidak cukup mempunyai pengetahuan yang komprehensif untuk menjawab permasalahan-permasalahan tersebut.
Ini tidak berarti tidak ada kelemahan dipihak guru. Banyak kekurangan pihak guru agama. Diantara kekurangan mereka adalah keterbatasan kemampuan menguasai materi yang diajarkan. Dan kalau muncul issu-issu yang mempertentankan nilai-nilai dasar agama dengan penemuan-penemuan baru dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, guru-guru tidak mampu memberikan penjelasan yang memadai. Sebagian guru agama nampaknya tidak cukup mempunyai pengetahuan yang komprehensif untuk menjawab permasalahan-permasalahan tersebut.
Kelemahan lain, pada umumnya guru-guru agama
kurang mampu atau tidak dengan sungguh-sungguh untuk mengembangkan metodologi
yang tepat untuk mata pelajaran pendidikan agama. Guru-guru agama disekolah
dasar dari tamatan PGAN selain urang mendalami materi yang diajarkan, juga
sering kali mengajar tanpa memperhatikan didaktik-metodik dan psikologi anak.
D. Beberapa Tantangan Dalam Pendidikan Islam
D. Beberapa Tantangan Dalam Pendidikan Islam
Kiranya perlu kita sadari pula bahwa
merebaknya kenakalan remaja, perkehian antar pelajar terutama di kota-kota
besar, munculnya “premanisme” dan berbagai bentuk kejahatan lainnya merupakan
tantangan bagi para pendidik, tokoh masyarakat, guru agama, dan kita semua.
Tetapi kita juga ingin menegaskan bahwa dalam menghadapi kasus-kasus kejahatan tersebut guru-guru agama tidak dapat dipersalahkan begitu saja atau dijadikan “kambing hitam”. Guru Agama tidak dapat dipersalahkan secara pukul rata lantaran ada kejahatan, tidak berakhlak, brutal, alkoholis, berkelahi dan bersikap kurang ajar! Banyak factor lain yang lebih dominan dalam pembentukan perilaku dan watak mereka. Karenanya kita menolak kalau ada pihak yang menilai bahwa semakin “merebaknya“ kejahatan dan kenakalan remaja itu merupakan indicator kuat terhadap kegagalan pendidikan agama disekolah-sekolah. Tetapi meski demikian kita juga tidak boleh bersikap apatis sambil berkata: “apa yang terjadi, terjadilah!”
Tokoh-tokoh Islam, Ulama’ dan guru-guru agama kiranya tetap menaruh rasa prihatin dan perlu proaktif untu ikut menangulangi kejahatan dan kenakalan remaja dan premanisme tersebut. Perlu kita sadari juga, bahwa para preman, remaja dan pelajar yang suka berkelahi, anak-anak yang suka mabuk-mabukan, mereka yang melakukan kejahatan di kota-ko\ta besar, sebagian besar berasal dari keluarga muslim, baik dari kalangan yang berada maupun dari kalangan yang tidak punya. Tetapi sekali lagi, hal tersebut bukan indicator kegagalan atau merosotnya kualitas penghayatan dan pengamalan keagamaan umat islam Indonesia.
Tetapi kita juga ingin menegaskan bahwa dalam menghadapi kasus-kasus kejahatan tersebut guru-guru agama tidak dapat dipersalahkan begitu saja atau dijadikan “kambing hitam”. Guru Agama tidak dapat dipersalahkan secara pukul rata lantaran ada kejahatan, tidak berakhlak, brutal, alkoholis, berkelahi dan bersikap kurang ajar! Banyak factor lain yang lebih dominan dalam pembentukan perilaku dan watak mereka. Karenanya kita menolak kalau ada pihak yang menilai bahwa semakin “merebaknya“ kejahatan dan kenakalan remaja itu merupakan indicator kuat terhadap kegagalan pendidikan agama disekolah-sekolah. Tetapi meski demikian kita juga tidak boleh bersikap apatis sambil berkata: “apa yang terjadi, terjadilah!”
Tokoh-tokoh Islam, Ulama’ dan guru-guru agama kiranya tetap menaruh rasa prihatin dan perlu proaktif untu ikut menangulangi kejahatan dan kenakalan remaja dan premanisme tersebut. Perlu kita sadari juga, bahwa para preman, remaja dan pelajar yang suka berkelahi, anak-anak yang suka mabuk-mabukan, mereka yang melakukan kejahatan di kota-ko\ta besar, sebagian besar berasal dari keluarga muslim, baik dari kalangan yang berada maupun dari kalangan yang tidak punya. Tetapi sekali lagi, hal tersebut bukan indicator kegagalan atau merosotnya kualitas penghayatan dan pengamalan keagamaan umat islam Indonesia.
Penghayatan dan pengamalan keagamaan umat
islam dalam masa dua atau tiga decade terakhir ini jauh lebih maju, semarak dan
mantap dibandingkan dengan masa sebelumnya atau dimasa orde lama. Betapapun
masih ada kekurangan dan hambatan, program pendidikan agama telah memberikan
hasil dan dampak positif bagi peningkatan kualitas keimanan dan ketaqwaan
generasi muda dan umat islam Indonesia.
Kesadaran masyarakat ntuk menanamkan keimanan
dan ketaqwaan sedini mungkin kepada anak-anak didik kita makin tumbuh dan
merata. Hal tersebut dapat dilihat dari semakin maraknya kegiatan “pendidikan
agama” melaluai media masa, munculnya pengajian-pengajian, majlis ta’lim,
madrasa diniyah, pesantren kilat, taman pendidikan Al Qur’an, dan lain-lain.
Gerakan masyarakat dalam kegiatan pendidikan agama tersebut perlu didorong lebih luas dan meningkat lagi, dan segala kekurangan dan hambatan yang ada kita tanggulangi dan kita carikan jalan keluar.
Gerakan masyarakat dalam kegiatan pendidikan agama tersebut perlu didorong lebih luas dan meningkat lagi, dan segala kekurangan dan hambatan yang ada kita tanggulangi dan kita carikan jalan keluar.
E. Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Keberhasilan
Djamarah & Zain Aswan (1996:123)
berpendapat, jika ada guru yang mengatakan bahwa dia tidak ingin berhasil dalam
mengajar, adalah ungkapan seorang guru yang sudah putus asa dan jauh dari
kepribadian seorang guru. Mustahil setiap guru tidak ingin berhasil dalam
mengajar. Apalagi jika guru itu hadir kedalam dunia pendidikan berdasarkan
tuntunan hati nurani. Panggilan jiwanya pasti merintih atas kegagalan mendidik
dan membina anak didiknya.
Betapa tingginya nilai suatu keberhasilan,
sampai-sampai seorang guru berusaha sekuat tenaga dan fikiran mempersiapkan
program pengajarannya dengan baik dan sistematik. Namun terkadang
keberhasilannya yang dicita-citakan, tetapi kegagalan yang ditemui; disebabkan
oleh beberapa factor sebagai penghambatnya. Sebaliknya, jika keberhasilan itu
menjadi kenyataan, maka berbagai factor itu juga sebagai pendukungnya, Berbagai
factor yang dimaksud adalah :
1. Tujuan. Tujuan adalah pedoman sekaligus sebagai
sasaran yang akan dicapai dalam kegiatan belajar mengajar. Kepastian dari
perjalanan proses belajar mengajar berpangkal tolak dari jelas tidaknya
perumusan tujuan pengajaran. Tercapainya tujuan sama halnya keberhasilan
pengajaran.
2.Guru. Guru adalah tenaga pendidik yang memberikan
sejumlah ilmu pengetahuan kepada anak didik di sekolah. Guru adalah orang yang
berpengalaman dalam bidang profesinya. Dengan keilmuan yang dimilikinya, dia
menjadi anak didik menjadi orang yang cerdas. Latar belakang pendidikan dan
pengalaman mengajar adalah dua aspek yang mempengaruhi kopetensi seorang guru
dibidang pendidikan dan pengajaran.
3.Anak Didik. Anak didik adalah orang yang dengan sengaja
datang ke sekolah. Orang tuanyalah yang memasukkannya untuk dididik agar
menjadi orang yang berilmu pengetahuan dikemudian hari. Kepercayaan orang tua
anak diterima oleh guru dengan kesadaran dan penuh keikhlasan. Maka jadilah
guru sebagai pengemban tangung jawab yang diserahkan itu.
4.Kegiatan pengajaran. Pola umum kegiatan pengajaran adalah
terjadinya interaksi antara guru dengan anak didik dengan bahan
sebagaiperantaranya. Guru yang mengajar. Anak didik yang belajar. Maka guru
adalah orang yang menciptakan lingkungan belajar bagi kepentingan belajar anak
didik. Anak didik adalah orang yang digiring kedalam lingkungan belajar yang
tlah diciptakan oleh guru. Gaya mengajar guru berusaha mempengaruhi gaya
belajar anak didik. Tetapi disini gaya mengajar guru lebih dominant
mempengaruhi gaya belajar anak didik.
5.Bahan dan alat evaluasi. Bahan evaluasi adalah suatu bahan yang terdapat didalam kurikulum yang sudah dipelajari oleh anak didik guna kepentingan ulangan. Bila tiba masa ulangan, semua bahan yang telah diprogramkan dan harus selesai dalam jangka waktu tertentu dijadikan sebagai bahan untuk pembuatan item-item soal evaluasi.
5.Bahan dan alat evaluasi. Bahan evaluasi adalah suatu bahan yang terdapat didalam kurikulum yang sudah dipelajari oleh anak didik guna kepentingan ulangan. Bila tiba masa ulangan, semua bahan yang telah diprogramkan dan harus selesai dalam jangka waktu tertentu dijadikan sebagai bahan untuk pembuatan item-item soal evaluasi.
6.Suasana Evaluasi. Selain faktor tujuan, guru, anak didik,
kegiatan pengajaran, serta bahan dan alat evaluasi, faktor evaluasi juga
merupakan fakor yang mempengaruhi kebersilan belajar mengajar.
7.Teknik-Teknik Pendidikan. Sementara menurut Quthb Muhammad (1988:325),
memberi komentar, tetapi lebih dari itu, Islam belum pernah pula kehabisan
persediaan dalam hal teknik-teknik pendidikan dan masih banyak lagi persediaan
anak-anak panah didalam kantongnya. Ia melakukan pendidikan melalui teladan,
melalui teguran, melalui hukuman, melalui cerita-cerita, melalui pembiasaan,
dan melalui pengalaman-pengalaman kongkrit.
a. Pendidikan
melalui teladan. Ini adalah salah satu teknik pendidikan yang efektif dan
sukses. Mengarang buku mengenai pendidikan adalah mudah begitu juga menyusun
suatu metodologi pendidikan, kendatipun hal itu membutuhkan ketelitian,
keberanian dan pendekatan yang menyeluruh. Namun hal itu masih tetap hanya akan
merupakan tulisan diatas kertas, tergantung diatas awang-awang, selama tidak
tejamah menjadi kenyataan yang hidup didunia nyata, bila tidak bisa menjamah
manusia yang menterjemahkannya, dengan tingkah laku, tindak-tanduk,
ungkapan-ungkapan rasa, dan ungkapan-ungkapan pikiran: menjadi dasar-dasar dan
arti suatu metodologi. Hanya bila demikianlah suatu metodologi akan berubah
menjadi suatu gerakan, akan menjadi suatu sejarah. Diperlukanlah teladan. Oleh
karena itulah Allah mengutus Muhammad s.a.w. untuk menjadi tauladan buat
manusia.
b. Pendidikan
Melalui Nasehat. Didalam jiwa terdapat pembawaan untuk terpengaruh oleh
kata-kata yang didengar. Pembawaan itu biasanya tidak tetap, dan oleh karena
itu kata-kata harus diulang-ulang. Nasehat yang berpengaruh, membuka jalannya
kedalam jiwa secara langsung melalui perasaan. Dalam pendidikan nasehat saja
tidaklah cukup bila tidak dibarengi dengan teladan dan perantara yang
memungkinkan teladan itu diikuti dan diteladani.
c. Pendidikan
Melalui Hukuman. Bila teladan tidak mampu, dan begitu juga nasehat, maka waktu
itu harus diadakan tindakan tegas yang dapat meletakkan persoalan ditempat yang
benar. Kecenderungan pendidikan modern sekarang memandang tabu hukuman itu,
memandang tidak layak disebut-sebut. Tetapi generasi muda yang ingin dibina
tanpa hukuman itu; di Amerika, adalah generasi muda yang sudah kedodoran,
meleleh, dan sudah tidak bisa dibina lagi eksistensinya. Tindakan tegas itu
adalah hukuman. Hukuman sesungguhnya tidaklah mutlak diperlukan. Ada
orang-orang yang teladan dan nasehat saja sudah cukup, tidak perlu lagi hukuman
dalam hidupnya. Tetapi manusia itu tidak sama seluruhnya. Diantara mereka ada
yang perlu dikerasi sekali-kali.
d. Pendidikan
Melalui Cerita. Cerita mempunyai daya tarik yang menyentuh perasaan.
Bagaimanapun persoalannya, cerita itu pada kenyataannya sudah merajut kaki
manusia dan akan tetap mempengaruhi kehidupan mereka. Islam menyadari sifat
alamiah manusia untuk menyenangi cerita itu, dan menyadari [engaruhnya yang
besar terhadap perasaan. Oleh karena itu Islam mengeksploitasi cerita itu untuk
dijadikan salah satu teknik pendidikan.
e. Pendidikan
Melalui Kebiasaan. Kebiasaan, sebagaimana sudah kita singgung , menduduki
kedudukan yag sangant istimewa di dalam kehidupan manusia. Islam mempergunakan
kebiasaan itu sebagai salah satu teknik pendidikan. Lalu ia mengubah seluruh
sifat-sifat baik menjadi kebiasaan, sehinga jiwa dapat menunaikan kebiasaan itu
tanpa terlalu payah, tanpa kehilangan banyak tenaga, dan tanpa menemukan banyak
kesulitan.
f. Menyalurkan
Kekuatan. Diantara banyak teknik Islam dalam membina manusia dan uga dalam
memperbaikinya adalah mengaktifkan kekuatan-kekuatan yang tersimpan didalam
jiwa dan tubuh dari diri dan tidak memendamnya kecuali bila potensi-potensi itu
memang terpuruk untuk lepas.
g. Mengisi
Kekosongan. Bila Islam menyalurkan kekuatan tubuh dan jiwa ketika sudah
menumpuk, dan tidak menyimpannya, karena penuh resiko. Maka Islam sekaligus
juga tidak senang pada kekosongan. Kekosongan merusak jiwa, seperti halnya
kekuatan terpendam juga rusak, tanpa adanya suatu keadaan istimewa. Kerusakan
utama yang timbul oleh kekosongan adalah habisnya kekuatan potensial itu untuk
mengisi tersebut. Seterusnya orang itu akan terbiasa pada sikap buruk yang
dilakukannya untuk mengisi kekosongan itu.
F. KEMUNGKINAN
DAN KEHARUSAN PENDIDIKAN
MUNGKINKAH
MANUSIA DIDIDIK?
1. DASAR
BIOLOGIS
Fakta biologis menunjukkan bahwa anak manusia ketika baru dilahirkan dalam keadaan tidak berdaya tetapi mempunyai
potensi untuk tumbuh dan berkembang karena:
v Kemampuan anak bersifat fleksibel
v Anak manusia mempunyai
otak yang besar dan berpermukaan
luas.
Mempunyai pusat syaraf yang berfungsi untuk menerima pengaruh dari
luar dirinya sehingga dapat terjadi proses belajar.
2. DASAR PSIKO-SOSIAL
v Anak manusia ketika dilahirkan membawa -bermacam-macam kemampuan
potensial, yang membutuhkan stimuli dari lingkungan.
v Manusia merupakan makhluk sosial. Kehidupan secara bersama
diperlukan oleh-manusia. Dan dalam
kehidupan bersama ini ada proses
saling mempengaruhi.
3.
Kesimpulan : MANUSIA
DAPAT DIDIDIK
HARUSKAH
MANUSIA DIDIDIK?
1. DASAR
BIOLOGIS:
Untuk menyesuaikan diri dengan
lingkungannya, anak manusia tidak memiliki instink yang sempurna sbgmana
dimiliki oleh hewan.
Anak manusia perlu masa belajar yang panjang sebagai
bekal menyesuaikan dirinya dengan
lingkungan secara konstruktif.
2. DASAR PSIKO-SOSIO-ANTROPOLOGIS
v Untuk menghadapi kehidupan yang
dilingkupi tantangan,
manusia harus memiliki berbagai pengetahuan, sikap, dan
keterampilan. Potensi untuk ini sudah ada tinggal pengembangannya.
v Kemampuan manusia menyesuaikan
diri de-ngan lingkungan sosial bukan bawaan tetapi hanya dapat
diperoleh melalui pendidikan.
v Kebudayaan tidak terjadi
dengan sendirinya melainkan hasil
karya dari orang-orang yang terdidik
3. KESIMPULAN : MANUSIA HARUS DIDIDIK
PANDANGAN DAN FAKTA BAHWA PENDIDIKAN MERUPAKAN
KEHARUSAN BAGI MANUSIA
• Pendapat IMMANUEL KANT: bahwa manusia hanya
dapat menjadi manusia jika dirinya memperoleh pendidikan.
• Pendapat
Langevel :
– Animal
educabile : manusia
merupakan makhluk yang dapat dididik.
– Animal
educandum : manusia
merupakan makhluk yang harus dididik.
– Animal
educandus : manusia
merupakan makhluk yang harus dapat mendidik.
Fakta : bahwa pendidikan
merupakan kebutuhan manusia
G. Pendidikan Islam pada Sekolah Umum
Alas Fikir . . .
• Kritik atau
keluhan yang sering di lontarkan masyarakat dan pihak orag tua murid selama
ini, pendidikan agama di sekolah umum dan perguruan tinggi, belum mampu
mengantar peserta didik untuk dapat memahami dan mengamalkan ajaran agamanya
dengan baik dan benar.
• Sebagai contoh
yang sering dikemukakan, anak-anak beragama islam, yang sejak disekolah dasar
telah memperoleh pedidikan agama setelah tamat ditingkat menengah banyak
diantaranya yang belum mampu membaca kitab suci Al Qur’an dengan baik dan
benar, apalagi menulis dan menerjemahkan isinya.
Demikian pula kemampuan dalam praktek ibadah tidak seperti yang
diharapkan. Selain kelemahan dalam penguasaan materi (aspek kognitif)
juga dalam hal pembentukan prilaku (aspek afektif) dampak nilai-nilai
luhur agama dari proses pendidikan agama di sekolah-sekolah oleh sebagian
masyarakat dinilai kurang nampak dalam pribadi anak dalam kehidupan
sehari-hari.
* Berbagai asumsi atas justifikasi masyarakat:
1. Tingginya frekwensi perkelahian/tawuran sesama pelajar di kota-kota
besar;
2. Kurangnya rasa hormat sang anak
atau murid kepada guru, bahkan ada yang memukul guru kalau ia tidak naik kelas;
3. Akrabnya sebagian anak muda
dengan obat-obat perangsang dan terlarang seperti narkotika;
4. Semaraknya animo pelajar dan
mahasiswa untuk mengakses situs-situs pornografi;
5. Pergaulan bebas dan “ngumpet
sekamar” pelajar putra dan putri atau “kumpul kebo” dikalangan (segelintir)
mahasiswa atau generasi muda;
6. Balapan liar dan dugem dikalangan
anak muda.
*Pertanyaan yang lalu muncul adalah:
Di mana letak kesalahannya?
Dugaan sementara, mungkin pada:
1.
Isi kurikulum yang kurang tepat,
2.
System atau metodologi,
3.
Alokasi waktu, atau
4.
Ketidak-profesional-an sebagian dari guru agama di sekolah-sekolah
umum
*Pengertian
Pendidikan Islam
Pendidikan yang bertujuan membentuk individu menjadi mahluk yang
bercorak diri, berderajat tinggi menurut ukuran Allah dan isi pendidikannya
adalah mewujudkan tujuan itu, yaitu ajaran Allah.
*Tujuan
Pendidikan Islam
Untuk membentuk manusia muslim yang berakhlak mulia, cakap dan
percaya pada diri sendiri dan berguna bagi masyarakat.
Sedangkan manusia muslim yang dimaksud adalah pribadi-pribadi
muslim yang mempunyai keseimbangan yang dapat mengintegrasikan kesejahteraan
kehidupan di dunia maupun kebahagiaan kehidupan di akhirat, dapat menjalin
hubungan kemasyarakatan yang baik dengan jiwa sosial yang tinggi, mengembangkan
etos ta’awun dalam kebaikan dan taqwa.
*Kelemahan dan Kendala Pendidikan Islam
Dari kalangan guru, keluhan yang sering dikemukakan diantaranya
adalah:
1.
Alokasi
waktu yang kurang memadai;
2.
Isi
kurikulum yang terlalu penuh-syarat.
3.
Sarana
dan lingkungan sekolah sering tidak menunjang pelaksanaan pendidikan agama.
Dari kalangan orang tua kurang memperlihatkan kerjasama. Mereka
hanya menuntut anaknya menjadi orang yang berpengetahuan luas dan berakhlak
mulia, taat melaksanakan agama, sementara mereka tidak mau memberi dukungan dan
contoh. Bagaimana seorang anak menjadi manusia atau generasi berbudi pekerti
luhur dan taat melaksanakan perintah agama seperti shalat, puasa, dan lain-lain
kalau orang tuanya dirumah tidak pernah melakukan shalat dan puasa.
Note:
Disamping itu, dalam pelaksanaan
pendidikan Agama di sekolah, juga terkendala dalam bidang kemampuan pelaksanaan
berbagai hal, diantaranya:
-
Metode;
-
Sarana fisik dan non-fisik;
Iklim pendidikan yang kurang
menunjang suksesnya pendidikan mental-spritual dan moral.
*Beberapa faktor penghambat Pendidikan Islam di sekolah
1.
Faktor – faktor eksternal
- Sikap
apatis-fundamental sebagian orang tua tentang urgensitas pendidikan
- Situasi
lingkungan sekitar sekolah yang kadang begitu menggoda
- Adanya gagasan
baru dari para ilmuwan yang kadang disalahtafsirkan
- Persepsi keliru
dari sebagian orangtua siswa ttg tingkat pendidikan
- Implikasi
kemajuan IT dari luar negeri
2.
Faktor – faktor internal sekolah
- Guru kurang
berkompeten untuk menjadi tenaga pengajar profesional
- Manipulasi
manajemen penempatan guru agama ke bagian admin, dsb
- Motodologi
pendekatan guru masih bersifat tradisional
- Menipisnya rasa solidaritas antara
guru agama dengan guru bidang studi umum
sehingga timbul sikap mengucilkan guru agama.
sehingga timbul sikap mengucilkan guru agama.
- Masalah waktu
(jam mengajar, dan persiapan guru itu sendiri)
- Kurikulum yang
terlalu padat dan gemuk
- Relasi antara guru agama dengan
murid hanya bersifat formal, tanpa
berkelanjutan dalam situasi informal di luar kelas
berkelanjutan dalam situasi informal di luar kelas
- Petugas supervisi tak berfungsi
maksimal sesuai harapan, diakibatkan terdiri
dari tenaga yang non-profesional.
dari tenaga yang non-profesional.
* Pola Pemecahan Problem
1.
Reinterpretasi
ideologi
2.
Restrukturisasi
kelembagaan
3.
Reaktualisasi
Add.1: Reinterpretasi ideologi
Pemusatan perhatian pada kemajuan pendidikan Islam. Suatu
interpretasi baru yang berorientasi pada tiga kemampuan dasar manusia,
yaitu kognitif, afektif, dan psikomotorik. Atau dengan kata lain kemampuan yang
bermukim di kepala (head), dada (heart) dan tangan
(hand).
Add.2:
Restrukturisasi Kelembagaan
Perlunya sikap lentur kelembagaan dari struktur pendidikan Islam
seperti Pesantren atau Madrasah. Bahkan lebih daripada itu, dituntut model
lembaga pendidikan Islam yang berfungsi ganda.
Maksud dari fungsi ganda itu adalah:
Lembaga Pendidikan Islam tidak hanya sebagai lembaga pendidikan
formal agama namun lebih berorientasi sosio-religion yang berfungsi sebagai
pusat pembinaan mental agama masyarakat lain (dalam artian sebagai pusat
kebudayaan).
Add.3:
Reaktualisasi
Teknis operasional pendidikan agama pada semua jenjang pendidikan
umum memerlukan perubahan yang lebih integral dengan pendidikan intelektual dan
keterampilan.
Hal tersebut diperlukan guna terwujudnya keserasian dan keselarasan
dalam pencapaian tujuan pendidikan nasional.
H. Pendidikan
Islam pada Madrasah
Alas fikir . .
.
Lembaga Pendidikan Islam di Nusantara dalam bentuk Madrasah
lahir seiring denyut penyebaran dan
perkembangan agama Islam yang dibawa oleh para ulama.
Madrasah sejatinya tumbuh dan berkembang dari bawah, dalam arti
masyarakat (umat) yang didasari oleh rasa tanggung jawab untuk menyampaikan
ajaran Islam kepada generasi penerus.
Tidak heran jika madrasah pada waktu itu lebih ditekankan pada
pendalaman ilmu-ilmu Islam.
Pada zaman sebelum proklamasi, madrasah dikelola untuk tujuan
idealisme ukhrawi semata, yang mengabaikan tujuan hidup duniawi,
sehingga posisinya jauh berbeda dengan sistem sekolah yang didirikan oleh
pemerintah kolonial Belanda yang hanya mengarahkan program-programnya kepada
intelektualisasi anak didiknya guna memenuhi tuntutan hidup sekuler.
Pada tahun 1976, pemerintah melalui tiga kementeriannya yakni
ketika itu masih bernama:
- Kementerian Agama,
- Kementerian P&K Diknas;
- Kementerian Dalam Negeri.
lalu menyepakati surat keputusan bersama (SKB) guna mengadakan
perubahan pengelolaan madrasah. Adapun substansi dari SKB tersebut ialah:
lembaga pendidikan Islam yang mengajarkan bidang studi agama Islam 30% dan mutu
bidang studi pengetahuan non-agama di madrasah sama dengan yang ada di sekolah
umum menurut jenjangnya.
Sisi Plus Madrasah dari lahirnya SKB 3 Menteri; “Terjadinya
intermobilitas enrollment dengan mudah dan kualitas kekuasaannya sama”
Sisi minusnya;
- Kurang efektifnya pendidikan agama dan bahasa Arab, jika lulusannya dijadikan lulusan input bagi mahasiswa IAIN (sekarang UIN), disamping kekurang kualitas lulusan untuk input universitas umum.
- Tenaga pengelola dan programmer di lembaga pendidikan madrasah pada semua jenjang rata-rata kurang berorientasi pada profesionalisme.
Madrasah berasal dari kata “Darosa” yang berarti tempat untuk
belajar. Istilah madrasah hari ini telah menyatu dengan istilah sekolah atau
perguruan.
Madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam muncul pertama kali oleh
penduduk “Nizapur”. Namun baru berkembang pada zaman Perdana Menteri
Saljuq, yakni Nizham al-Mulk yang belakangan mendirikan madrasah Nizhamiyah
yang terkenal itu (sekitar tahun 1065 M).
Madrasah kemudian berkembang pesat setelah Sultan Solahuddin
al-Ayyubi melanjutkan kepemimpinan di Dinasti Abbasiyah.
Latar Belakang kehadiran madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam,
diantaranya sbb:
- Sebagai manifestasi dan realisasi pembaharuan sistem pendidikan Islam
- Usaha penyempurnaan terhadap sistem pesantren ke arah suatu sistem pendidikan yang lebih memungkinkan lulusannya untuk memperoleh kesempatan yang sama dengan sekolah umum, misalnya masalah kesamaan kesempatan kerja dan perolehan ijazah
- Adanya sikap mental pada sementara golongan umat Islam, khususnya santri yang terpukau pada Barat sebagai sistem pendidikan mereka
Sebagai upaya untuk menjembatani antara sistem pendidikan
tradisional yang dilakukan oleh pesantren dan sistem pendidikan modern dari
hasil akulturasi.
Madrasah atau (sekolah) sebagai lembaga pendidikan merupakan
wahana pemenuhan elemen-elemen institusi secara sempurna yang tidak terjadi
pada lembaga-lembaga lainnya. Adapun elemen-elemen institusi madrasah/sekolah
terdiri dari:
- Utility (kegunaan dan fungsi)
- Actor (pelaku)
- Organisasi
- Share in society (tersebar dalam masyarakat)
- Sanction (sangsi)
- Ceremony (upacara, ritus dan simbol)
- Resistence to change (menentang perubahan)
Diantara sekian banyak tugas yang diemban oleh madrasah sebagai
lembaga pendidikan Islam, maka berikut ini salah satunya;
Merealisasikan pendidikan Islam yang didasarkan atas prinsip pikir,
akidah dan tasyri’ yang diarahkan untuk mencapai tujuan pendidikan. Bentuk dan
realisasi itu ialah agar anak didik beribadah, mentauhidkan Allah SWT, tunduk
dan patuh atas perintah-Nya, serta syariat-Nya.
Memberikan kepada anak didik seperangkat peradaban dan kebudayaan
Islami, dengan cara mengintegrasikan antara ilmu-ilmu alam, ilmu sosial, ilmu
eksakta, dengan landasan ilmu-ilmu agama, sehingga anak didik mampu melibatkan
dirinya kepada perkembangan IPTEK pada setiap jaman.
Guna dapat memaksimalkan tugas madrasah sebagai lembaga pendidikan
Islam tersebut, maka dibutuhkan adanya administrasi yang memadai, seperti:
- perencanaan,
- Pengawasan,
- Organisasi,
- Koordinasi,
- Evaluasi, dsb
Orientasi dari tertib administrasi
sebuah madrasah, adalah guna melancarkan proses pendidikan yang dilaksanakan.
Berikut ini sebuah gambar, yang mendeskripsikan komponen
administrasi pendidikan:
Pertemuan Ke-2
URGENSI SKB 3 MENTERI
Alas Fikir
Pendidikan
Islam tidak hanya ditujukan kepada pembentukan kemampuan akal saja, melainkan
tertuju kepada setiap bagian jiwa sehingga setiap bagian jiwa itu menjadi mampu
melaksanakan tugasnya sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah swt.
Refleksi Historis
Kelembagaan
pendidikan Islam di Nusantara pra-kemerdekaan, atau tepatnya dipenghujung abad
ke-19.., mengalami kemajuan yang sangat pesat.
Hal
tersebut ditandai dengan tumbuh dan berkembangnya beberapa pondok pesantren dan
madrasah se-antero Nusantara.
Pada
era kolonialis Belanda, perkembangan madrasah dimulai dari semangat
reformasi yang dilakukan oleh masyarakat Muslim. Ada dua faktor penting yang
melatarbelakangi kemunculan madrasah di Indonesia, yakni:
- Adanya pandangan yang mengatakan bahwa sistem pendidikan Islam tradisional dirasakan kurang bisa memenuhi kebutuhan pragmatis masyarakat.
- Adanya kekhawatiran atas kecepatan perkembangan persekolahan Belanda yang akan menimbulkan pemikiran sekuler di masyarakat.
Pada
sisi lain, dominasi dan intervensi berlebihan yang diterapkan kolonial-belanda
kepada para pendidik (guru-kyai) dengan berbagai aturan yang muatan dan
orientasinya mengucilkan peran dan eksistensi madrasah ketika itu, seperti
kebijakan Ordonansi Guru. Kebijakan ini mewajibkan guru-guru agama untuk
memiliki surat izin dari pemerintah kolonial.
Pemerintah
kolonial Belanda juga memberlakukan Ordonansi Sekolah Liar. Ketentuan
ini mengatur bahwa penyelenggaraan pendidikan harus terlebih dahulu mendapat
izin dari pemerintah. Laporan-laporan mengenai kurikulum dan keadaan sekolah
harus diberikan secara berkala.
Walhasil, dampak yang lahir dari kebijakan itu mencapai puncaknya ketika
banyak madrasah yang ditutup karena dianggap melanggar ketentuan
yang digariskan oleh pemerintah kolonial Belanda.
*Tahapan
Kebijakan Pemerintah pra-SKB 3 Menteri
Pada dasarnya, sejak awal masa kemerdakaan tidak ada masalah yang prinsipil
tentang pendidikan Islam dalam pengertian eksistensial. Keberadaannya di
Indonesia merupakan suatu kenyataan yang sudah berlangsung lama. Untuk
kepentingan inipun pada tahun 1946 dibentuk Departemen Agama antara lain
mengurusi pelajaran agama di sekolah negeri dan swasta, pengajaran umum
madrasah, dan penyelenggaraan Pendidikan Guru Agama (PGA) serta Pendidikan
Islam Hakim Negeri (PIHN). Pembentukan Departemen Agama dengan beberapa tugas
itupun sebetulnya sudah lebih dulu didirikan lembaga serupa pada masa
pemerintahan Jepang.
Masalah pendidikan Islam baru muncul pada segi lingkup sejauhmana
pendidikan Islam dikembangkan. Apakah terbatas pada pendidikan Islam dalam
pengertian agama secara murni, atau pendidikan Islam dalam pengertian sistem
yang mengajarkan berbagai aspek kehidupan yang berdasarkan agama. Hal ini
menjadi serius karena akan sangat menentukan pola dan sistem pendidikan
nasional secara menyeluruh. Kalangan Islam berpendapat bahwa pendidikan Islam
harus dikembangkan di Indonesia sejauh mungkin, sementara kalangan non-Islam
membatasinya dalam lingkup pengajaran agama. Namun demikian, akhirnya
ketentuan-ketentuan yang lebih tegas tentang pendidikan agama dalam pendidikan
nasional telah direkomendasikan oleh Badan Pekerja Komite Nasional Pusat
(BPKNP), antara lain:
1.
Pengajaran
agama dalam semua sekolah, diberikan pada jam pelajaran sekolah
2.
Para
guru dibayar oleh pemerintah
3.
Pada
sekolah dasar pendidikan ini diberikan mulai kelas IV
4.
Pendidikan
tersebut diselenggarakan seminggu sekali pada jam tertentu
5.
Para
guru diangkat oleh Departemen Agama
6.
Para
guru agama diharuskan juga cakap dalam pendidikan umum
7.
Pemerintah
menyediakan buku untuk pendidikan agama
8.
Diadakan
latihan bagi guru agama
9.
Kualitas
pesantren dan madrasah harus diperbaiki
10.
Pengajaran
bahasa Arab tidak dibutuhkan
Berdasarkan rekomendasi itu, maka Pendidikan Islam sangat terbatas
pada pengajaran agama di sekolah-sekolah mulai kelas IV. Waktunya pun seminggu
sekali, dan tidak termasuk pelajaran bahasa Arab. Dalam rekomendasi itu,
pendidikan Islam dalam pengertian lembaga seperti pesantren dan madrasah tidak
mendapat perhatian khusus, kecuali kalimat no.9: kualitas pesantren dan
madrasah harus diperbaiki.
Sampai akhir dekade 1960-an pelaksanaan pendidikan secara nasional
masih bertumpu pada Undang-Undang no.4 tahun 1950 jo. No.12 tahun 1954 “tentang
dasar-dasar pendidikan dan pengajaran di sekolah” seperti dapat dipahami dari
namanya, Undang-Undang tersebut pada pengaturan pendidikan di sekolah. Dalam
kenyataan tidak member perhatian yang cukup pada pendidikan di sekolah. Dalam
kenyataannya tidak memberi perhatian yang cukup pada pendidikan di luar
sekolah. Dalam pasal 2 ditegaskan bahwa undang-undang ini tidak berlaku untuk
pendidikan dan pengajaran di sekolah-sekolah agama. Mengenai madrasah hanya
disyariatkan dalam pasal 10 ayat 2 bahwa belajar di sekolah agama yang telah
mendapat pengakuan Menteri Agama dianggap telah memenuhi kewajiban belajar.
Pasal 3 undang-undang tersebut menyebutkan bahwa pendidikan adalah “membentuk
manusia susila yang cakap dan warga negara yang demokratis serta
bertanggungjawab tentang kesejahteraan masyarakat dan tanah air”. Dari rumusan
ini tidak tercermin adanya perhatian terhadap usaha pembinaan mental spiritual
dan keagamaan secara terus-menerus melalui proses pendidikan. Itulah sebabnya
dalam pasal 20 ayat 1 disebutkan bahwa pendidikan agama disekolah bukan mata
pelajaran wajib dan bergantung pada persetujuan orang tua/wali murid. Dalam
penjelasannya bahkan dikemukakan bahwa mata pelajaran pendidikan agama bukan merupakan
faktor penentu dalam kenaikan kelas anak didik.
Diluar undang-undang itu, kebijakan pemerintah khususnya yang
menyangkut pendidikan agama agaknya tidak statis. Sejumlah ketetapan MPRS/MPR,
Peraturan Pemerintah, Keputusan Pemerintah, dan Surat Keputusan Menteri
dikeluarkan. Beberapa dari keputusan itu memberi perhatian yang lebih baik pada
pendidikan agama dan lembaga-lembaganya. Pada tanggal 3 Desember 1960 misalnya,
keluar Ketetapan MPRS No.II/MPRS/1960 tentang “Garis-Garis Besar Pola
Pembangunan Semesta Berencana, tahapan pertama tahun 1961-1969”. Dalam
kaitannya dengan pendidikan nasional, ketetapan ini antara lain menyebutkan
bahwa pendidikan agama menjadi mata pelajaran di sekolah-sekolah mulai dari
sekolah rakyat sampai dengan universitas-universitas negeri, dengan pengertian
bahwa murid-murid berhak tidak ikut serta, apabila wali murid atau murid dewasa
menyatakan keberatannya.
Perhatian serius terhadap pendidikan agama dapat diamati setelah
kemunculan pemerintahan Orde Baru. Pada awal pemerintahan ini UU pendidikan
nasional yang lebih sempurna memang belum bisa dirumuskan, tetapi kebijakan
yang dikembangkan dalam bidang pendidikan cenderung lebih mendasar dan
menyeluruh. Ketetapan MPRS No.XXVII/1966 tentang “Agama, Pendidikan, dan
Kebudayaan,” jelas memperlihatkan kecenderungan itu dengan menunjukkan secara
kuat peran agama. Dalam konsiderannya disebutkan bahwa ketetapan itu disusun
berdasarkan alas an-alasan berikut:
1.
Bahwa
agama, pendidikan, dan kebudayaan adalah merupakan unsur-unsur mutlak dalam
rangka nation and character building
2.
Bahwa
filsafat Pancasila merupakan sumber untuk mempertinggi harkat manusia
3.
Bahwa
dalam rangka mempertinggi pertahanan revolusi salah satu faktor yang menentukan
adalah moral dan mental manusia bangsa Indonesia.
Kaitannya dengan pendidikan agama, ketetapan itu member status yang
lebih berarti. Pendidikan menjadi mata pelajaran wajib yang harus diikuti semua
siswa dan mahasiswa serta menjadi syarat kelulusan ujian akhir. Berbeda dengan
undang-undang dan ketetapan sebelumnya, dalam ketetapan yang dimaksud, siswa
dan mahasiswa tidak diberi hak untuk mengajukan keberatan dalam mengikuti
pelajaran agama. Keputusan ini jelas dimaksudkan untuk menempatkan agama
sebagai sendi pendidikan dan pengajaran di sekolah-sekolah.
Pada tahun 1958 Kementrian
Agama mengusahakan pengembangan madrasah dengan memperkenalkan model Madrasah
Wajib Belajar. Ditempuh selama delapan tahun, pendidikan didalamnya memuat
kurikulum pengajaran yang terpadu antara aspek keagamaan, pengetahuan umum dan
keterampilan. Namun demikian, sampai pada tahap ini, madrasah-madrasah di
Indonesia tetap saja belum terorganisasi dan terstruktur secara seragam dan
standar.
Menyusul program MadrasahWajib Belajar yang berjalan kurang mulus,
lalu pemerintah melalui Kementerian Agama terus menata kurikulum pendidikan
madrasah. Sebagai efek dari ketetapan MPRS No.XXVII/1996, pada tahun 1967
Menteri Agama mengeluarkan kebijakan untuk menegerikan sejumlah madrsah dalam
semua tingkatan dari tingkat Ibtidaiyah sampai Aliyah. Melalui usaha ini
sebanyak 123 Madrasah Ibtidaiyah telah dinegerikan. Total Madrasah Ibtidaiyah
Negeri (MIN) menjadi 358. Dalam waktu bersamaan, juga telah berdiri sekitar 182
Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN) dan 42 Madrasah Aliyah Agama Islam Negeri (MAAIN).
Dengan memberikan status negeri, tanggung jawab pengelolaan menjadi beban
pemerintah, tetapi pengaturan dan control atas madrasah-madrasah itu menjadi
lebih efektif.
Langkah-langkah strukturisasi kelembagaan dan reformasi kurikulum
madrasah ini menjadi agenda penting pada awal pemerintahan Orde Baru. Pada
tanggal 10-20 Agustus 1970, dilakukan penyusunan kurikulum madrasah dalam semua
tingkatan secara nasional di Cibodo_Bogor_Jawa Barat. Juga otonomi yang
diberikan kepada Kementrian Agama untuk mengelola madrasah terus dibarengi
dengan kebijakan yang mengarah pada penyempurnaan sistem pendidikan nasional.
Kurikulum madrasah tersebut ini diberlakukan secara nasional
berdasarkan Keputusan Menteri Agama No.52 Tahun 1971. Dengan beberapa perbaikan
dan penyempurnaan, kurikulum itu kemudian terkenal dengan kurikulum 1973. Dari
struktur materi yang ditawarkan kurikulum itu sudah cukup mencerminkan
perkembangan yang serius dalam rangka mengarahkan madrasah sebagai bagian dari
sistem pendidikan nasional. Komponen-komponen kurikulum itu meliputi tidak saja
mata pelajaran agama, tetapi juga mata pelajaran umum dan mata pelajaran
kejuruan.
Pada tingkat Ibtidaiyah yang ditempuh selama tujuh tahun, kurikulum
madrasah menempatkan tujuah mata pelajaran dalam kelompok dasar, delapan mata
pelajaran dalam kelompok pokok, dan tiga mata pelajaran dalam kelompok khusus.
Pada tingkat tsanawiyah, tiga tahu, komposisi kurikulum ditambah dengan
kelompok ekstra kurikuler. Kelompok dasar, mata pelajaran yang ditawarkan sama
dari mata pelajaran kelompok dasar dari kurikulum MIN. tentu saja dalam
prakteknya terdapat perbedaan pada tingkat kedalam dan keluasan materi dari
setiap mata pelajaran. Adapun mata pelajaran yang tergolong Ekstra Kurikuler
adalah kepramukaan. Pada tingkat Aliyah struktur kurikulumnya adalah
kepramukaan. Pada tingkat Aliyah struktur kurikulumnya sama dengan kurikulum
MTsN yang terdiri dari empat kelompok: Dasar, Pokok, Pilihan, dan Ekstra
Kurikuler. Dalam kelompok dasar diajarkan delapan mata pelajaran, dalam kelompok
pokok diajarkan lima belas mata pelajaran, dan dalam kelompok khusus hanya
tercantum dalam dua mata pelajaran, sedangkan dalam kelompok Ekstra Kurikuler
tercatat mata pelajaran kepramukaan dan koperasi.
Dengan tersusunnya kurikulum dan struktur kelembagaan madrasah ini,
pengelolaan pendidikan Agama dibawah Departemen Agama semakin memperoleh bentuk
dan statusnya dengan jelas. Dalm kaitan itu, makna penting dari tersusunnya
kurikulum 1973 adalah: pertama, ada standar pendidikan bagi madrasah
pada setiap jenjang, yang dapat berlaku juga bagi madrasah-madrasah swasta; kedua,
ada acuan yang lebih detail dalam hal mata pelajaran yang dapat dijadikan
dasar-dasar kerja dan pengembangan bagi pendidikan di madrasah; ketiga,
dan ini yang amat penting, bahwa mata pelajaran umum dan kejuruan di madrasah
dengan demikian telah mendapatkan landasan formal, apalagi yang dalam jumlah
yang cukup tinggi melebihi jumlah yang telah dilakukan para pembaharu pada
masa-masa sebelumnya.
Pada 18 April 1972 pemerintah mengeluarkan Keputusan Presiden No.34
tahun 1972 tentang Tanggung jawab Fungsional Pendidikan dan Latihan. Isi
keputusan ini menyangkut tiga hal:
a.
Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan bertugas dan bertanggung jawab atas pembinaan
pendidikan umum dan kejuruan,
b.
Menteri
Tenaga Kerja bertugas dan bertanggungjawab atas pembinaan latihan dan kejuruan
tenaga kerja bukan pegawai negeri.
c.
Ketua
Lembaga Administrasi Negara bertugas dan bertanggungjawab atas pembinaan
pendidikan dan latihan khusus untuk pegawai negeri.
Dua tahun berikutnya Kepres ini dipertegas dengan Inpres No.15
Tahun 1974 yang mengatur realisasinya.
Menarik untuk dicatat bahwa kebijakan disekitar Keputusan Presiden
34/1972 yang kemudian diperkuat dengan Istruksi Presiden 15/1974 menggambarkan
ketegangan yang cukup keras dalam hubungan madrasah dengan pendidikan nasional.
Dalam konteks ini madrasah tidak saja diasingkan dari sistem pendidikan
nasional, tetapi terdapat indikasi kuat akan dihapuskan.
Reaksi umat Islam terhadap kebijakan yang tidak menguntungkan
diperlihatkan antara lain oleh Musyawarah Kerja Majelis Pertimbangan Pendidikan
dan Pengajaran Agama (MP3A). Lembaga meyakinkan bahwa madrasah adalah lembaga
pendidikan yang memberikan sumbangan yang cukup berarti dalam pembangunan
nasional. Menyinggung tentang madrasah itu, MP3A menegaskan bahwa “yang paling
tepat diserahi tanggung jawab itu ialah Departemen Agama, sebab Menteri Agama
lah yang lebih tahu tentang seluk-beluk pendidikan agama bukan menteri P&K
atau Menteri-Menteri lain.
Pemerintah Orde Baru menyadari bahwa umat Islam berkeberatan jika
pengelolaan pendidikan madrasah berada sepenuhnya dibawah Kementrian Pendidikan
dan Kebudayaan. Memperlihatkan aspirasi umat Islam diatas, pemerintah Orde Baru
melakukan pembinaan mutu pendidikan madrasah secara terus-menerus. Karena itu
berkaitan dengan Kepres no.34 tahun 1972 dan Inpres No.15 tahun 1974,
pemerintah mengambil kebijakan yang lebih operasional. Pada tahun 1975
dikeluarkan Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri mengenai “Peningkatan Mutu
Pendidikan Madrasah”. Dalam SKB itu, masing-masing Kementerian Agama,
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, serta Kementerian Dalam Negeri memikul
tanggung jawab dalam pembinaan dan pengembangan pendidikan madrasah.
Kelahiran SKB 3 Menteri memang antara lain untuk mengatasi kekhawatiran
umat Islam akan dihapuskannya sistem pendidikan madrasah sebagai konsekuensi
dari Kepres No.34 tahun 1972 dan Inpres No.15 tahun 1974. Menarik untuk dicatat
bahwa keluarnya SKB itu berdasarkan pada hasil siding Kabinet terbatas pada
tanggal 26 November 1974. Pada siding itu, Menteri Agama RI Mukti Ali
menyampaikan kecemasan umat Islam berkaitan dengan isi dan implikasi lebih jauh
dari Kepres dan Inpres tersebut sebelumnya. Pemerintah ternyata memberikan
perhatian terhadap masalah tersebut, sehingga Presiden mengeluarkan Petunjuk
Pelaksanaan Kepres No.34 tahun 1972 dan Inpres No.15 tahun 1974 yan isinya:
1.
Pembinaan
pendidikan umum adalah tanggung jawab Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, sedang
tanggung jawab pendidikan agama menjadi tanggung jawab Menteri Agama.
2.
Untuk
pelaksanaan Kepres No.34 tahun 1972 dan Inpres No.15 tahun 1974 dengan
sebaik-baiknya perlu ada kerjasama antara Departemen P&K, Departemen Dalam
Negeri, dan Departemen Agama.
Dengan keluarnya petunjuk pelaksanaan tersebut, ketegangan antara
pendidikan agama dan pendidikan nasional memang dapat diatasi. Petunjuk
pelaksanaan itu mengandung perbedaan yang cukup mendasar dengan Kepres dan
Inpres tersebut. Disitu ditegaskan bahwa hal dan tanggung jawab pengelolaan
pendidikan agama tetap berada pada Departemen Agama.
Sebagai tindak lanjut, Juknis diatas segera diikuti dengan
penyusunan SKB 3 Menteri. Bagi kalangan yang mempertahankan eksistensi
madrasah, baik dari lingkungan Departemen Agama sendiri, maupun dari Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, penyusunan SKB 3 Menteri itu merupakan langkah
strategis.
SKB ini dapat
dipandang sebagai model solusi yang di satu sisi memberikan pengakuan
eksistensi madrasah, dan di sisi lain memberikan kepastian akan berlanjutnya
usaha yang mengarah pada pembentukan sistem pendidikan nasional yang
integratif. Sejumlah diktum dari SKB 3 Menteri ini memang memperkuat posisi
madrasah, yaitu:
1. Madrasah
meliputi 3 tingkatan: MI setingkat dengan SD, MTs setingkat dengan SMP, dan MA
setingkat dengan SMA
2. Ijazah madrasah dinilai
sama dengan ijazah sekolah umum yang sederajat.
3. Lulusan madrasah dapat
melanjutkan ke sekolah umum yang setingkat lebih atas.
4. Siswa madrasah dapat
berpindah ke sekolah umum yang setingkat.
Signifikansi
SKB 3 Menteri ini bagi umat Islam adalah, pertama, terjadinya mobilitas sosial
dan vertikal siswa-siswa madrasah yang selama ini terbatas di lembaga-lembaga
pendidikan tradisional (madrasah dan pesantren), dan bersamaan dengan itu,
kedua, membuka peluang kemungkinan anak-anak santri memasuki wilayah pekerjaan
pada sektor modern.
Pada tahap awal
setelah SKB, Departemen Agama menyusun kurikulum 1976 yang diberlakukan secara
intensif mulai tahun 1978, kemudian kurikulum 1976 ini disempurnakan lagi
melalui kurikulum 1984 sebagaimana dinyatakan dalam SK Menteri Agama No. 45
tahun 1987. penyempurnaan ini sejalan dengan perubahan kurikulum sekolah di
lingkungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
SKB 3 Menteri
sudah mendatangkan kelegaan yang merata di kalangan madrasah, dan telah
menjadikan kedudukan madrasah menjadi lebih mantap dan lebih terjamin. Tetapi
hal demikian tidak berarti, bahwa pelaksanaan selanjutnya akan dapat berjalan
tanpa problema-problema yang beberapa di antaranya, hanya dapat diatasi dengan
kerja tekun serta senantiasa memelihara sikap sabar dan bijaksana. Ada dua persoalan penting, yaitu
pertama, kurikulum dan peningkatan mutu serta kedua, menyediakan tenaga
pengajar. Persoalan penyusunan kurikulum senantiasa harus memperhatikan
kurikulum agama yang akan digunakan oleh madrasah-madrasah terutama madrasah
swasta. Persoalan tenaga pengajar merupakan bagian yang paling menentukan,
tetapi juga yang paling sulit mengatasinya dalam problem meningkatkan mutu
pendidikan pada madrasah. Terutama guru-guru berbagai mata pelajaran umum, yang
melihat besarnya jumlah madrasah yang kurang memadai fasilitasnya. Tidak hanya
itu, guru-guru mata pelajaran agama pun memerlukan penanganan yang serius dan
bersifat kontinyu.
Madrasah pasca
SKB 3 Menteri
Dengan
diterbitkannya SKB 3 Menteri tahun 1975 yang bertujuan untuk memperbaiki dan
meningkatkan kualitas pendidikan madrasah, dan diterapkannya kurikulum baru
pada tahun 1976 sebagai realisasi SKB 3 Menteri tersebut; ternyata banyak
sekali madrasah yang tidak mengikuti kurikulum tersebut (kurikulum 1975) dan
tetap berusaha mempertahankan status madrasah sebagai lembaga pendidikan yang
mengajarkan agama Islam sebagai pengajaran pokok. Meskipun SKB 3 Menteri itu
memberikan nilai positif dengan menjadikan status madrasah yang sejajar dengan
sekolah-sekolah umum. Dengan kata lain, siswa keluaran dari madrasah memiliki
kesempatan yang sama dengan para lulusan sekolah umum untuk mengisi dan
memainkan peran-peran yang ada di tengah masyarakat.
Sisi positif
lain dari SKB 3 Menteri telah mengakhiri reaksi keras umat Islam yang menilai
pemerintah terlalu jauh mengintervensi kependidikan Islam yang telah lama
dipraktikkan umat Islam. Selain itu, kebijakan ini dapat dipandang sebagai
pengakuan yang lebih nyata terhadap eksistensi madrasah dan sekaligus merupakan
langkah strategis menuju tahapan integrasi madrasah ke dalam sistem pendidikan
nasional yang tuntas. Dengan demikian, madrasah memperoleh definisinya yang
semakin jelas sebagai lembaga pendidikan yang setara dengan sekolah umum
meskipun pengelolaannya tetap berada ada Departemen Agama.
Dengan berlakunya SKB 3 Menteri, maka kedudukan madrasah memang telah sejajar dengan sekolah-sekolah umum. Dari segi organisasi, madrasah sama dengan sekolah umum; dari segi jenjang pendidikan, MI, MTs dan MA sederajat dengan SD, SMP dan SMA; dari segi muatan mata pelajaran, murid-murid madrasah pun memperoleh pengajaran ilmu sosial, sejarah, antropologi, geografi, kesenian, bahasa (Indonesia dan Inggris), fisika, kimia, matematika dan lain-lain.
Dengan berlakunya SKB 3 Menteri, maka kedudukan madrasah memang telah sejajar dengan sekolah-sekolah umum. Dari segi organisasi, madrasah sama dengan sekolah umum; dari segi jenjang pendidikan, MI, MTs dan MA sederajat dengan SD, SMP dan SMA; dari segi muatan mata pelajaran, murid-murid madrasah pun memperoleh pengajaran ilmu sosial, sejarah, antropologi, geografi, kesenian, bahasa (Indonesia dan Inggris), fisika, kimia, matematika dan lain-lain.
SKB 3 Menteri
itu kemudian dikuatkan dengan SKB 2 Menteri, antara Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan dan Menteri Agama No. 0299/U/1984 (DikBud); 045/1984 (Agama) tahun
1984 tentang “Pengaturan Pembakuan Kurikulum Sekolah Umum dan Kurikulum
Madrasah”. Yang isinya antara lain: penyamaan mutu lulusan madrasah yang dapat
melanjutkan pendidikan ke sekolah-sekolah umum yang lebih tinggi. SKB 2 Menteri
ini dijiwai oleh ketetapan MPR No. II/TAP/MPR/1983 tentang perlunya penyesuaian
sistem pendidikan sejalan dengan adanya kebutuhan pembangunan di segala bidang,
antara lain dilakukan melalui perbaikan kurikulum sebagai salah satu upaya
perbaikan penyelenggaraan pendidikan, baik di sekolah umum maupun di madrasah.
MAPK (Madrasah
Aliyah Program Khusus)
Sejak SKB 3 Menteri tahun
1975 dikeluarkan dan diteruskan dengan SKB 2 Menteri tahun 1984, secara formal
madrasah sebenarnya sudah menjadi sekolah umum yang menjadikan pendidikan agama
sebagai ciri kelembagaannya. Ada semacam dilema bagi madrasah sejak saat itu,
di mana di satu pihak materi pengetahuan umum bagi madrasah secara kuantitas
dan kualitas mengalami peningkatan, tapi di lain pihak penguasaan murid
terhadap ilmu agama, terutama seperti bahasa Arab, menjadi serba tanggung,
karenanya kalau mengharapkan lahirnya figur-figur kiai atau ulama dari madrasah
tersebut, tentu saja adalah hal yang terlalu riskan.
Menyadari akan hal itu, pemerintah berusaha mengadakan terobosan-terobosan dan usaha tersebut terealisasi dengan keinginan pemerintah mendirikan Madrasah Aliyah yang bersifat khusus, yang kemudian dikenal dengan nama Madrasah Aliyah Program Khusus (MAPK).
Menyadari akan hal itu, pemerintah berusaha mengadakan terobosan-terobosan dan usaha tersebut terealisasi dengan keinginan pemerintah mendirikan Madrasah Aliyah yang bersifat khusus, yang kemudian dikenal dengan nama Madrasah Aliyah Program Khusus (MAPK).
Kelahiran MAPK yang
didasari dengan Keputusan Menteri Agama No. 73 tahun 1987, tepatnya pada masa
Prof. Dr. Munawir Sjadzali, MA menjabat sebagai Menteri Departemen Agama selama
dua periode (1983-1993). Sistem pendidikan madrasah menjadi perhatian beliau di
masa jabatannya. Selama ini madrasah masih dianggap sebagai lembaga pendidikan
“kelas dua” dibandingkan sekolah umum. Fasilitas yang minimal, lokasi yang
kebanyakan di pedesaan, dan kurikulum yang tidak seimbang antara pendidikan
agama dan umum, menyebabkan lembaga ini tidak banyak menghasilkan bibit unggul
bagi IAIN. Untuk itu, beliau meninjau kembali SKB 3 Menteri tahun 1975, antara
lain menetapkan bahwa madrasah harus bermuatan 70% pengetahuan umum dan 30%
pengetahuan agama, dengan harapan agar madrasah sederajat dengan sekolah umum,
terutama dari segi kurikulum. Menurut beliau, maksud SKB ini memang baik,
tetapi akibat yang tampaknya kurang diperhitungkan adalah tamatan Madrasah
Aliyah (MA) menjadi lebih siap masuk ke perguruan tinggi umum dari pada
perguruan tinggi agama. Mereka jelas bukan merupakan bibit unggul untuk IAIN.
Penguasaan agama tamatan MA bukan hanya sangat lemah, lebih dari itu bahkan
tidak dapat diandalkan untuk menjadi calon-calon ulama. Sehingga, beliau pun
merasa perlu untuk menyempurnakan SKB 3 Menteri itu melalui pilot project
Madrasah Aliyah Program Khusus (MAPK) dengan muatan kurikulum 70% pengetahuan
agama dan 30% pengetahuan umum. Dengan proyek ini, harapan untuk mengembangkan
ilmu-ilmu keislaman yang sejalan dengan tantangan modernitas melalui IAIN
dengan cepat akan segera terwujud.
Sasaran utama dari program
ini adalah :
1. Siswa Aliyah yang berasal dari keluarga
yang tidak mampu dalam aspek pembiayaan
2. Siswa yang
menjadikan madrasah Aliyah sebagai terminal/tidak melanjutkan ke perguruan
tinggi, dan
3. Siswa yang
setelah tamat menjadi pencari kerja. Atas dasar pemikiran tersebut maka
ditetapkan visi MAPK menyiapkan SDM yang trampil, mandiri, religius dan berwawasan
ke depan.
Adapun tujuan utama
dibukanya program ini adalah :
1. Untuk
memenuhi kebutuhan tenaga ahli di bidang agama Islam sesuai dengan tuntutan
pembangunan nasional dalam rangka peningkatan mutu pendidikan pada madrasah
Aliyah.
2. Untuk
menyiapkan lulusan agar memiliki kemampuan dasar yang diperlukan bagi
pengembangan diri sebagai ulama yang intelek.
3. Menyiapkan
lulusan sebagai calon mahasiswa IAIN atau PTAI lainnya termasuk calon mahasiswa
Universitas Al-Azhar Mesir.
Ide ini pun disetujui oleh
Presiden Soeharto, sehingga pada tahun 1988 proyek MAPK dimulai dan untuk tahap
pertama, dibuka di lima propinsi, yaitu Padang Panjang, Ciamis, Yogyakarta,
Ujung Pandang, dan Jember. Selanjutnya MAPK ditambah di lima kota lagi, yaitu
Banda Aceh, Lampung, Solo, Banjarmasin, dan Mataram. Keberhasilan dan
perkembangan proyek ini pun mulai tampak. Antara lain bertambah jumlah MAPK
sudah mencapai 110 buah, dan berhasilnya 48 alumni MAPK mengikuti proses
belajar mengajar di Universitas al-Azhar Cairo Mesir pada tahun 1991.
Ternyata dalam
perkembangannya, MAPK ini belum dapat menjadi program unggulan di madrasah
Aliyah, hal ini dikarenakan masih sering terjadi benturan dalam mengatur waktu
belajar antara program reguler dengan program “ekstra kurikuler ketrampilan”.
Lebih-lebih bila kepada madrasahnya kurang begitu perhatian dengan program ini.
Hal ini dikarenakan juga program ketrampilan ini masih dianggap program
“tempelan” bagi madrasah Aliyah itu sendiri.
Meskipun demikian, munculnya MAPK ini sedikit banyaknya telah membawa perbaikan dan kebaikan secara kuantitas dan kualitas bagi madrasah menuju sistem pendidikan nasional. Yang pada akhirnya MAPK diganti namanya menjadi Madrasah Aliyah Kejuruan yang merupakan realisasi UU No. 2 tahun 1989.
Meskipun demikian, munculnya MAPK ini sedikit banyaknya telah membawa perbaikan dan kebaikan secara kuantitas dan kualitas bagi madrasah menuju sistem pendidikan nasional. Yang pada akhirnya MAPK diganti namanya menjadi Madrasah Aliyah Kejuruan yang merupakan realisasi UU No. 2 tahun 1989.
Implikasi SKB 3
Menteri
Implikasi SKB 3 Menteri
1975 ini antara lain:
a.
Aspek Lembaga
Madrasah yang dianggap sebagai lembaga
pendidikan tradisional, telah berubah dan membuka peluang bagi kemungkinan
siswa-siswa madrasah memasuki wilayah pekerjaan pada sektor modern. Lebih dari itu
madrasah juga telah mendapat pengakuan yang lebih mantap bahwa madrasah adalah
bagian dari sistem pendidikan nasional walaupun pengelolaannya dilimpahkan pada
Departemen Agama. Dan secara tidak langsung hal ini memperkuat dan memperkokoh
posisi Departemen Agama dalam struktur pemerintahan, karena telah ada
legitimasi politis pengelolaan madrasah.
b.
Aspek Kurikulum
Karena diakui sejajar dengan sekolah umum,
maka komposisi kurikulum madrasah harus sama dengan sekolah, berisi mata
pelajaran dengan perbandingan 70% mata pelajaran umum dan 30% pelajaran agama.
Efeknya adalah bertambahnya beban yang harus dipikul oleh madrasah. Di satu
pihak ia harus memperbaiki mutu pendidikan umumnya setaraf dengan standar yang
berlaku di sekolah. Di lain pihak, bagaimanapun juga madrasah harus menjaga
agar mutu pendidikan agamanya tetap baik.
c.
Aspek Siswa
Dalam SKB 3 Menteri ditetapkan bahwa:
1. ijazah siswa madrasah mempunyai nilai
sama dengan ijazah sekolah umum yang setingkat,
2. siswa madrasah dapat berpindah ke
sekolah umum yang setingkat, dan
3. lulusan madrasah dapat melanjutkan ke
sekolah umum yang lebih atas.
d. Aspek Masyarakat
SKB 3 Menteri telah mengakhiri reaksi keras
umat Islam yang menilai pemerintah terlalu jauh mengintervensi kependidikan
Islam yang telah lama dipraktikkan umat Islam atas dasar semangat pembaruan di
kalangan umat Islam. Tentunya semua ini karena madrasah adalah wujud riel dari
partisipasi masyarakat (communnity participation) yang peduli pada nasib
pendidikan bagi anak bangsanya. Hal ini terbukti jelas dengan prosentase
madrasah yang berstatus swasta jauh lebih banyak (91%) dibandingkan dengan yang
berstatus negeri (9%).
Trend pengelolaan pendidikan yang semakin
menitikberatkan pada peningkatan partisipasi masyarakat yang seluas-luasnya akan
menuntut para pengelola madrasah agar mampu terlepas dari berbagai
ketergantungan. Dengan kembali pada khiththah madrasah sebagai lembaga
pendidikan berbasis masyarakat (community based education), maka madrasah hanya
tinggal maju satu tahap ke depan yakni memberdayakan partisipasi masyarakat
agar lebih efektif dan efisien.
Untuk menunjang suksesnya pendidikan
berbasis masyarakat, maka peranan masyarakat sangat besar sekali. Masyarakat
sebagai obyek pendidikan sekaligus juga akan menjadi subyek pendidikan. Sebagai
obyek pendidikan, masyarakat merupakan sasaran garapan dari dunia pendidikan
dan sebagai subyek pendidikan, masyarakat berhak mendesain model pendidikan
sesuai dengan potensi dan harapan yang diinginkan oleh masyarakat setempat.
Lebih dari itu sebagai subyek pendidikan, masyarakat juga bertanggungjawab
terhadap prospek, termasuk dana pendidikan.
Ada beberapa bentuk peran serta masyarakat
dalam menunjang keberhasilan otonomi dalam bidang pendidikan, antara lain :
1. Pendirian
dan penyelenggaraan satuan pendidikan jalur pendidikan sekolah dan luar
sekolah.
2.Pengadaan dan pemberian bantuan tenaga kependidikan.
2.Pengadaan dan pemberian bantuan tenaga kependidikan.
3.Pengadaan dan
pemberian tenaga ahli (guru tamu, peneliti, dan sebagainya).
4. Pengadaan /
penyelenggaraan program pendidikan yang belum diadakan oleh sekolah.
5. Pengadaan
bantuan dana; wakaf, hibah, pinjaman, beasiswa dan sebagainya.
6. Pengadaan
dan pemberian bantuan ruang, gedung, tanah dan sebagainya.
7. Pemberian
bantuan buku-buku pelajaran.
8. Pemberian
kesempatan untuk magang / latihan kerja.
9. Pemberian
bantuan managemen pendidikan.
10. Bantuan
pemikiran dan pertimbangan dalam menentukan kebijakan pendidikan.
11. Kerjasama
dalam penelitian dan sebagainya.
Madrasah Ke
Depan
Untuk peningkatan mutu madrasah secara
efektif, diperlukan pemahaman terhadap hakekat dan problematika madrasah.
Madrasah sebenarnya merupakan model lembaga pendidikan yang ideal karena
menawarkan keseimbangan hidup: iman-taqwa (imtaq) dan ilmu
pengetahuan-teknologi (iptek). Di samping itu, sebagai lembaga pendidikan
berbasis agama dan memiliki akar budaya yang kokoh di masyarakat, madrasah
memiliki basis sosial dan daya tahan yang luar biasa. Atas dasar itu apabila
madrasah mendapatkan sentuhan menejemen dan kepemimpinan yang baik niscaya akan
dengan mudah menjadi madrasah yang diminati masyarakat. Seandainya mutu
madrasah itu sejajar saja dengan sekolah, niscaya akan dipilih masyarakat,
apalagi kalau lebih baik.
Persoalannya, kondisi sebagian besar
madrasah sedang menghadapi persoalan serius. Menurut Yahya Umar, madrasah
diibaratkan sebagai mobil tua sarat beban. Kurikulum madrasah adalah 130 % dari
kurikulum sekolah karena komposisi kurikulum 70:30 (umum: agama) dan mata
pelajaran umum madrasah sama dengan yang ada di sekolah. Apabila dilihat dari
missinya, disamping sebagai sekolah juga sebagai lembaga dakwah. Sedangkan
apabila dilihat dari kondisi guru, siswa, fisik dan fasilitas, dan
faktor-faktor pendukung lainnya kondisinya serba terbatas, untuk tidak
mengatakan sangat memprihatinkan. Dengan singkat dapat dikatakan bahwa kondisi
madrasah sebagian besar menghadapi siklus negatif atau lingkaran setan tak
terpecahkan (unsolved problems): kualitas raw input (siswa, guru, fasilitas)
rendah, proses pendidikan tidak efektif, kualitas lulusan rendah, dan kepercayaan
stake holder terutama orangtua dan pengguna lulusan rendah.
Lalu upaya apakah yang paling strategis
atau kiat-kiat yang paling jitu dalam mempercepat peningkatan mutu madrasah.
Menurut Yahya Umar , kalau madrasah diibaratkan mesin, maka ada tiga hal yang
hendak dilakukan direktoratnya: menyehatkan mesin, mengurangi beban dan merubah
beban menjadi energi.
Pertama, menyehatkan
mesin. Mesin dalam sebuah organisasi pendidikan dapat berwujud budaya
organisasi dan proses organisasi. Dalam mewujudkan budaya madrasah yang baru,
diperlukan konsolidasi idiil berupa reaktualisasi doktrin-doktrin agama yang
selama ini mengalami pendangkalan, pembelokan dan penyempitan makna. Konsep
tentang ihlas, jihad, dan amal shaleh perlu direaktualisasikan maknanya dan dijadikan
core values dalam penyelenggaraan pendidikan madrasah. Dengan landasan
nilai-nilai fundamental yang kokoh, akan menjadikan madrasah memiliki modal
sosial (social capital) yang sangat berharga dalam rangka membangun rasa saling
percaya (trust), kasih sayang, keadilan, komitmen, dedikasi, kesungguhan, kerja
keras, persaudaraan dan persatuan.
Kedua, kurangi
beban. Madrasah memang sarat beban, apabila dilihat dari missi, muatan
kurikulum, dan beban-beban sosial, budaya dan politik. Penyelenggaraan kurikulum
madrasah perlu diformat sedemikian rupa agar tidak terpaku pada formalitas yang
padat jam tetapi tidak padat misi dan isi. Orientasi pendidikan tidak lagi pada
"having" tetapi "being", bukan "schooling" tetapi
"learning", dan bukan "transfer of knowledge" tetapi
membangun jiwa melalui "transfer of values" lewat keteladanan. Metode
belajar yang mengarah pada, "quantum learning", "quantum
teaching" dan "study fun" dan sebagainya perlu dikritisi. Budaya
Belajar Bangsa Indonesia tidak harus mencontoh model Eropa seperti bermain
sambil belajar, guru hanya sebagai fasilitator, menekankan proses dari pada
hasil, mengutamakan alat belajar dan lain sebagainya. Budaya belajar Bangsa
Indonesia yang banyak berhasil membesarkan orang justru yang mengembangkan sikap
kesungguhan, prihatin (tirakat), ihlas (nrimo, qanaah), tekun dan sabar. Siswa
madrasah harus dididik menjadi generasi yang tangguh, memiliki jiwa pejuang,
seperti sikap tekun, ulet, sabar, tahan uji, konsisten, dan pekerja keras.
Multiple intelligence (intellectual, emotional dan spiritual quotient) siswa
dapat dikembangkan secara maksimal justru melalui pergumulan yang keras, bukan
sambil bermain atau dalam suasana fun semata.
Ketiga, merubah beban
menjadi energi. Pengelola madrasah baik pimpinan maupun gurunya haruslah
menjadi orang yang cerdik, lincah dan kreatif. Pemimpin madrasah tidak
sepatutnya hanya berperan sebagai administrator, "pilot" atau
"masinis" yang hanya menjalankan tugas sesuai dengan ketentuan,
melainkan harus diibaratkan seorang "sopir", "pendaki" atau
"entrepreneur" yang senantiasa berupaya menciptakan nilai tambah
dengan cara mendayagunakan kekuatan untuk menutupi kelemahan, mencari dan
memanfaatkan peluang yang ada, dan merubah ancaman menjadi tantangan (analisis
swot). Keterbatasan sumber daya (manusia, material, finansial, organisasi,
teknologi dan informasi) yang dimiliki madrasah bagi pemimpin yang berjiwa
entrepreneur dan pendaki (climber) justru menjadi cambuk, lahan perjuangan
(jihad) dan amal shaleh. Ibaratnya, beban berat di sebuah mobil dapat dirubah
menjadi energi apabila sopirnya cerdas dalam memilih jalan yang menurun.
Intinya, cara merubah beban menjadi energi adalah dengan cara berfikir dan
berjiwa besar, positif, kreatif dan tidak kenal menyerah. Memang salah satu karakteristik
madrasah adalah berkembang secara evolutif, dimulai dari sebuah pengajian di
mushallah/masjid kemudian menjadi madrasah diniah dan akhirnya menjadi
madrasah. Proses evolusi madrash selama ini ada yang berlangsung dengan baik
dan ada yang jalan ditempat, tetapi sangat jarang yang mati. Semua itu
tergantung pada orang-orang yang ada di dalamnya.
Menurut Azyumardi Azra, inilah
tantangan madrasah yang harus dihadapi, meskipun peluang bagi umat Islam jelas
masih tetap besar, setidak-tidaknya dalam dua dasawarsa terakhir, umat Islam
telah menemukan “new attachment” yang merupakan modal yang sangat berharga bagi
madrasah atau lembaga pendidikan Islam umumnya. Kini tinggal bagi madrasah dan
lembaga-lembaga pendidikan Islam lainnya untuk memberdayakan dirinya
benar-benar menjadi “pendidikan alternatif” yang memiliki keunggulan komparatif
dan kompetitif dalam menghadapi arus modernisasi dan globalisasi.
Menurut Mastuhu, madrasah dapat
dikembangkan melalui kekuatan, karakter dan kebutuhannya sendiri. Kekuatan madrasah
adalah lahir dari panggilan agama bahwasanya belajar dan mencari ilmu merupakan
perintah wajib sepanjang hayat. Karakteristik madrasah adalah memegang tegup
prinsip bahwa belajar dan menyelenggarakan usaha pendidikan adalah panggilan
tugas agama, serta tidak hanya tanggung jawab sebatas kepentingan dunia tetapi
juga diyakini harus dipertanggungjawabkan di akhirat nanti atau di hadapan
Tuhan kelak. Kebutuhan madrasah adalah penguatan pada seluruh komponen
pendidikannya dan pengakuan atau kepercayaan dari semua pihak. Islam pasti
tidak akan mengajarkan kekerasan dan madrasah jug pasti tidak akan mengajarkan
hal yang anti-negara. Madrasah membutuhkan evaluasi dan akreditasi demi
kemajuan dan peningkatan mutu, serta kontribusinya bagi bangsa dan negara.
Bagaimana pun solusi yang ditawarkan, madrasah telah menunjukkan jati diri yang fenomenal sebagai lembaga pendidikan Islam. Madrasah telah melakukan perjalanan panjang dan telah banyak memberikan kontribusi pada dunia pendidikan Islam dengan segala kelebihan dan kekurangannya.
Bagaimana pun solusi yang ditawarkan, madrasah telah menunjukkan jati diri yang fenomenal sebagai lembaga pendidikan Islam. Madrasah telah melakukan perjalanan panjang dan telah banyak memberikan kontribusi pada dunia pendidikan Islam dengan segala kelebihan dan kekurangannya.
Materi Pertemuan ke 3 Prinsip-Prinsip Pendidikan
Baca !
ltulah wahyu
pertama yang turun kepada Nabi Muhammad saw. Sejak awal, Islam telah
menanarnkan suatu prinsip untuk mencapai suatu kebahagiaan, baik di dunia
maupun di akhirat, yaitu "membaca". Untuk mencapai kesempumaan hidup,
seorang muslim harus dapat membaca fenomena yang terjadi di alam ini. Semua
yang ada di hadapan kita adalah buku yang terbentang luas dengan
halaman-halaman yang begitu tebal. Untuk itu, Islam menerapkan prinsip ini agar
manusia yang selalu "membaca" dekat dengan Sang Pencipta, bukan
menjauhi-Nya.
Bagaimana
membaca?
llmu adalah
kuncinya. Islam menganjurkan umatny untuk terus mencari ilmu.
Menuntut ilmu adalah suatu kewajiban bagi setiap muslim dan hal itu tidak
dibatasi ruang dan waktu. Dengan ilmu dunia dapat dapat diraih, dengan ilmu
pula khirat didapat, keduanya hanya dapat dicapat dan dituju dengan kendaraan
“ilmu”. Oleh karena itu, ikatlah ilmu.
Islam tidak
pernah memisahkan ilmu agama dan ilmu pengetahuan (sains) karena semua ilmu
sumbernya adalah satu. Perinsip inilah yang membuat seseorang muslim tidak
berpola pikir sekuler. Agama dan ilmu, hati dan pikiran harus berjalan seiring
dalam derap langkah menuju keabadian. Bacalah karena hakikat akan didapat dan
rabat menunggu di akhirat. Bacalah !.
Al-Qur'an
sebagai sumber pertama dan utama dalam pendidikan Islam diturunkan untuk
seluruh umat manusia di segala zaman dan tempat. Petunjuk-petunjuknya patut
menjadi pegangan bagi seluruh umat manusia di mana pun mereka berada dan kapan
pun mereka membutuhkannya. Seandainya umat manusia senantiasa berpegang teguh
kepadanya niscaya mereka tidak akan sesat selama-lamanya. Hal ini sesuai dengan
jaminan yang telah diberikan oleh Nabi saw. yang berbunyi:
Aku
tinggalkan pada kalian dua pusaka, selama
kalian berpegang teguh pada
keduanya niscaya kalian tidak akan sesat sesudahnya:
Kitab Allah (Al-Qur'an)
dan Sunahku .... (HR al-Hakim dan Abu Hurairah).
Secara eksplisit, hadis di atas
menjelaskan jaminan Rasulullah saw. kepada umatnya bahwa siapa saja yang
berpegang teguh kepada Al-Qur'an dan Sunah niscaya tidak akan sesat
selama-lamanya. Hadis di atas merupakan aplikasi dari firman Allah SWT di dalam
Surat Al-Baqarah ayat 185 yang berbunyi:
Beberapa hari yang ditentukan itu ialah
bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan permulaan Al-Qur'an sebagai
petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan
pembeda antara yang hak dan yang batil .... (QS AI-Baqarah: 185)
Ayat ini menjelaskan
fungsi Al-Qur'an bagi manusia di dunia ini, yaitu untuk menuntun mereka ke
jalan yang benar demi memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat. Jadi, Al-Qur'an
merupakan pedoman yang tepat bagi umat manusia dalam menjalani kehidupan di
dunia yang fana ini agar mereka tidak salah kaprah, dan mengakibatkan
kefatalan, baik terhadap diri mereka maupun keluarga dan masyarakat. Hanya,
sebagian besar dari ayat-ayat Al-Qur'an tidak memuat petunjuk secara rinci,
terutama berkenaan dengan muamalah (aturan kehidupan antara sesama umat,
termasuk pendidikan). Kondisi ini membuat kita menghadapi kesulitan, yaitu
ketika hendak mengaplikasikan petunjuk-petunjuk tersebut ke dalam realitas
kehidupan individual, berkeluarga, bermasyarakat, dan berbangsa. Meskipun
demikian, kita harus mencari solusi untuk mendapatkan petunjuk Al-Qur'an
agar kita selamat dan sukses dalam menempuh kehidupan di dunia ini dan di
akhirat kelak.
Di antara
permasalahan kehidupan yang perlu menjadi perhatian kita ialah pendidikan.
Ayat-ayat tentang pendidikan banyak terdapat di dalam Al-Qur'an, meskipun masih
bersifat umum sehingga tidak mudah diaplikasikan begitu saja ke dalam kehidupan
umat. Oleh karena itu, ayat-ayat tentang pendidikan tersebut perlu dikaji
secara saksama agar dapat ditangkap petunjuknya dan dapat diterapkan di tengah
masyarakat untuk membimbing mereka ke jalan yang benar.
Surat Al-'Alaq adalah salah satu surat di
dalam Al-Qur'an yang turun pada periode awal. Ayat 1-5 merupakan ayat yang
pertama kali turun kepada Nabi Muhammad saw. Ayat pertama yang diturunkan Allah
ini sangat sarat dengan petunjuk-Nya tentang pendidikan. Ayat tersebut dimulai
dengan perintah membaca (). Membaca merupakan salah satu aktivitas
dalam pendidikan yang tidak dapat diabaikan, baik membaca yang tertulis maupun
membaca alam dan fenomena yang tidak tertulis. Para ahli pendidikan Islam
senantiasa memasukkan ayat 1-5 dari Surat Al-'Alaq ini sebagai ayat pendidikan,
seperti Ghazali, Muhammad Fadhil Jamali, Fathiyah Hasan Sulaiman, dan Hasan
Langgulung. Hasan Langgulung, misalnya, mengatakan, " Seakan-akan
permulaan ayat yang pertama kali turun ini sebagai pemberitahuan bahwa kitab
ini mengajak kepada ilmu, judul ilmu, ajaran yang dibawanya tegak di atas dasar
ilmu, dan ia akan mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahui.
Dr. Utsman
Najati mengemukakan bahwa Surat Al-'Alaq ayat 1-5 ini memberikan dorongan untuk
membaca dan mengisyaratkan tentang karunia Allah kepada manusia dengan
membekali kemampuan untuk mempelajari bahasa, bacaan, tulisan, dan ilmu pengetahuan
yang belum diketahuinya.
Afzalur Rahman
memasukkan ayat ke-2 dan Surat Al-'Alaq ini ke dalam kelompok ayat-ayat
Al-Qur'an yang mengisyaratkan tentang jenis ilmu pengetahuan biologi. Ayat ini
mengisyaratkan tentang pertumbuhan manusia di dalam rahim ibu yang berasal dari
segumpal darah.
Menurut Prof.
Mahmud Yunus, ayat yang pertama kali diturunkan itu berisi pendidikan keagamaan
dan pendidikan akliyah ilmiyah.
Berdasarkan
uraian di atas, penulis akan mengungkapkan prinsip-prinsip pendidikan yang
terdapat di dalam Surat Al-'Alaq tersebut secara keseluruhan, mencakup tujuan
pendidikan, metode, materi, pendidik, peserta didik, dan lain-lain. Oleh karena
itu, Surat Al-'Alaq akan dikaji ayat demi ayat. Selain itu, akan dikemukakan
pula berbagai penafsiran yang diberikan oleh para ulama tafsir dan pendapat
para ahli pendidikan yang berkaitan dengan masalah pendidikan di dalam surat
itu. Dengan demikian, kita akan dapat mengetahui informasi Al-Qur'an tentang
prinsip pendidikan di dalam surat tersebut.
Agar tidak
menimbulkan persepsi yang keliru dari para pembaca dalam memahami buku ini, ada
baiknya dijelaskan terlebih dahulu maksud dari judul buku ini. Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia kata "prinsip" mempunyai
pengertian dasar, asas yang menjadi pokok atau landasan berpikir.
Kata
"pendidikan" terbentuk dari kata dasar "didik" yang diberi
awalan pe dan akhiran an yang berarti proses membimbing manusia
dari kebodohan menuju kecerahan pengetahuan.
Surat Al-'Alaq
adalah salah satu surat dalam Al-Qur'an yang terdiri atas 19 ayat dan merupakan
surat ke-96 di dalam mushaf.
Dengan demikian,
yang dimaksud dengan prinsip-prinsip pendidikan dalam Surat Al-'Alaq adalah
petunjuk-petunjuk Allah SWT yang berkenaan dengan dasar-dasar atau asas-asas
pendidikan yang terdapat di dalam Surat Al-'Alaq.
Surat Al-'Alaq
yang terdiri atas 19 ayat ini merupakan surat Makkiyah atau surat yang
diturunkan Allah pada periode Mekah. Ayat 1-5 adalah ayat-ayat yang pertama
kali diturunkan Allah SWT di Gua Hira' ketika Nabi saw. Bertahannus. Surat
ini, antara lain berisi perintah membaca, tentang alat tulis, unsur-unsur
pendidikan, sifat dan keadaan manusia yang jahat serta durhaka.
Kajian ini
mengkhususkan pembahasan tentang prinsip-prinsip pendidikan yang diinformasikan
oleh Al-Qur'an di dalam Surat Al-'Alaq. Artinya, informasi mengenai hal-hal
yang di luar pendidikan, seperti proses penciptaan manusia dan 'alaq
tidak akan dikaji, kecuali kalau hal itu ada kaitannya dengan pendidikan. Oleh
karena itu, buku ini hanya membahas ayat demi ayat dari Surat Al-'Alaq tersebut
dengan menelaah penafsiran-penafsiran yang sudah ada dan memadukannya dengan
pendapat-pendapat para ahli pendidikan.
Penafsiran
ayat-ayat tersebut dibahas dari berbagai segi dan aspek, seperti pemakaian
kosakata, kandungan makna, dan konteks pembicaraan ayat sehingga dapat
ditemukan petunjuk-petunjuk yang berkaitan dengan masalah pendidikan di
dalamnya.
Prinsip-prinsip
pendidikan yang akan dikaji di dalam Surat Al-'Alaq ini berkenaan dengan
pendidikan secara urnum, seperti materi pendidikan, metode pendidikan,
pendidik, anak didik (peserta didik), dan tujuan pendidikan.
Ringkasnya, buku
ini berisi penelaahan terhadap Surat Al-'Alaq dari awal sampai akhir, lalu
dilakukan kategorisasi isi dan kandungannya. Kemudian ayat-ayat yang berisi
prinsip-prinsip pendidikan akan dikaji secara mendalam sehingga dapat diperoleh
gambaran yang lebih lengkap dan menyeluruh tentang berbagai aspek.
Dengan demikian,
buku ini diharapkan dapat menginformasikan prinsip-prinsip pendidikan yang
terdapat di dalam Surat Al-'Alaq dan dapat membandingkannya dengan teori-teori
atau prinsip-prinsip pendidikan yang dikemukakan oleh para ahli pendidikan
sesuai dengan petunjuk-petunjuk AI-Qur'an.
Semoga buku yang sederhana ini dapat
menambah khazanah intelektual Islam, khususnya dalam bidang atau disiplin ilmu
pendidikan Islam serta dapat mendorong umat Islam, terutama pakar pendidikan
untuk menjadikan Al-Qur'an sebagai sumber pertama dan utama dalam mengembangkan
pendidikan dalam rangka memenuhi kebutuhan umat manusia dalam menjalani
kehidupan mereka di dunia ini untuk mencapai kebahagiaan di akhirat
kelak.
Untuk melacak
berbagai penafsiran dan pendapat yang dimaksudkan di atas, digunakan metode
tafsir tematik.
Dalam penerapan
metode tematik (maudu'i), ulama tafsir telah menetapkan
langkah-langkah'" sebagai berikut.
1. Mengernukakan
keseluruhan ayat di dalam Surat Al-'Alaq secara berurutan, dari awal sampai
akhir surat, kemudian melakukan kategorisasi terhadap isi dan kandungannya,
lalu mengambil ayat yang berkaitan dengan pendidikan. Setelah itu, ayat
tersebut disusun sesuai dengan kronologis turunnya. Karena yang dibahas hanya
satu surat dari awal sampai akhir maka yang dipakai tetap kronologi yang
terdapat di dalam mushaf, tidak perlu diurutkan sesuai urutan turunnya,
apalagi jumlah ayatnya hanya 19 ayat. Jadi, tidak perlu disusun sesuai dengan
urutan turunnya.
2.
Menelusuri latar belakang turunnya (asbabun nuzul) ayat-ayat yang
telah dihimpun (kalau ada).
3. Meneliti
dengan cermat semua kata atau kalimat yang dipakai dalam ayat tersebut,
terutama kosakata yang menjadi pokok permasalahan di dalam ayat itu, lalu
membahasnya dari semua aspek yang berkaitan dengannya, seperti bahasa, budaya,
sejarah, munasabat, dan pemakaian kata ganti (damir).
4. Mengkaji
tafsir ayat-ayat Surat Al-'Alaq yang telah dikernukakan oleh para ahli tafsir
atau pakar pendidikan dalam berbagai aliran, baik yang klasik maupun yang
kontemporer.
5. Semua
itu dikaji secara tuntas dan saksama dengan menggunakan penalaran ilmiah yang
objektif melalui kaidah-kaidah tafsir yang mu'tabar serta didukung oleh
argumen-argumen dari Al-Qur'an, hadis, dan fakta-fakta sejarah yang dapat
ditemukan.
Untuk mengetahui
ada atau tidak adanya prinsip-prinsip pendidikan di dalam surat ini, penulis
menggunakan konsep-konsep atau teori-teori ilmu pendidikan. Jadi, di samping
menelaah pemahaman atau penafsiran ayat-ayatnya, penulis juga menelaah
teori-teori dan konsep-konsep ilmu pendidikan, baik dari kalangan Islam maupun
non-Islam.
Dari uraian di
atas, tampak kepada kita bahwa rujukan utama dari buku ini adalah Al-Qur'an.
Sebagai penunjang, penulis menggunakan kitab-kitab tafsir tentang penafsiran
Surat Al-'Alaq dan buku-buku yang membahas konsep-konsep dan teori pendidikan.
Konsepsi
Al-Quran tentang ilmu pengetahuan, tidak membeda-bedakan antara ilmu
pengetahuan agama dan umum. Kedua jenis ilmu pengetahuan itu merupakan kesatuan
yang tidak dapat dipisah-pisahkan, karena semua itu adalah merupakan
manifestasi dari ilmu pengetahuan yang satu yaitu ilmu pengetahuan Allah.
Oleh karena itu dalam islam tidak dikenal adanya ilmu pengetahuan yang
religious dan non-religius (sekuler).
Pendidikan
Islam tidak memandang dikotomi ilmu pengetahuan religius dan non-religius. Sebab
berilmu dalam kredo Islam merupakan ketentuan yang harus dimiliki oleh setiap
manusia sebagai pemenuhan fungsi kekhalifahannya. Tanpa berilmu pengetahuan
maka sulit bagi seseorang untuk bertahan hidup dan mempertahan ataupun bahkan
menciptakan peradaban.
Beberapa Prinsip-Prinsip dalam Pendidikan Islam:
1. Prinsip
Integrasi
Suatu prinsip yang
seharusnya dianut adalah bahwa dunia ini merupakan jembatan menuju kampung
akhirat. Karena itu, mempersiapkan diri secara utuh merupakan hal yang tidak
dapat dielakkan agar masa kehidupan di dunia ini benar benar bermanfaat untuk
bekal yang akan dibawa ke akhirat. Perilaku yang terdidik dan nikmat Tuhan
apapun yang didapat dalam kehidupan harus diabdikan untuk mencapai kelayakan
kelayakan itu terutama dengan mematuhi keinginan Tuhan.
Allah Swt Berfirman, “Dan
carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) kampung
akhirat, dan janganlah kanu melupakan kebahagiaanmu dari kenikmatan duniawi...”
(QS. Al Qoshosh: 77).
Ayat tersebut menunjukkan kepada prinsip integritas di
mana diri dan segala yang ada padanya dikembangkan pada satu arah, yakni
kebajikan dalam rangka pengabdian kepada Tuhan.
2. Prinsip Keseimbangan
Karena ada prinsip
integrasi, prinsip keseimbangan merupakan kemestian, sehingga dalam
pengembangan dan pembinaan manusia tidak ada kepincangan dan kesenjangan.
Keseimbangan antara material dan spiritual, unsur jasmani dan rohani.
Pada banyak ayat
al-Qur’an, Allah menyebutkan iman
dan amal secara bersamaan. Tidak kurang dari enam puluh tujuh ayat yang
menyebutkan iman dan amal secara besamaan, secara implisit menggambarkan
kesatuan yang tidak terpisahkan. Diantaranya adalah pada QS. Al ‘Ashr: 1-3, “Demi masa, sesungguhnya
manusia dalam kerugian kecuali mereka yang beriman dan beramal sholeh.” .
2. Prinsip Persamaan
Prinsip ini berakar dari
konsep dasar tentang manusia yang mempunyai kesatuan asal yang tidak membedakan
derajat, baik antara jenis kelamin, kedudukan sosial, bangsa, maupun suku, ras,
atau warna kulit. Sehingga budak sekalipun mendapatkan hak yang sama dalam
pendidikan.
Nabi Muhammad Saw
bersabda: “Siapapun di antara
seorang laki laki yang mempunyai seorang budak perempuan, lalu diajar dan
didiknya dengan ilmu dan pendidikan yang baik kemudian dimerdekakannya lalu
dikawininya, maka (laki laki) itu mendapat dua pahala” (HR. Bukhori).
4. Prinsip Pendidikan Seumur Hidup
Sesungguhnya prinsip ini
bersumber dari pandangan mengenai kebutuhan dasar manusia dalam kaitan
keterbatasan manusia di mana manusia dalam sepanjang hidupnya dihadapkan pada
berbagai tantangan dan godaan yang dapat menjerumuskandirinya sendiri ke jurang
kehinaan. Dalam hal ini dituntut kedewasaan manusia berupa kemampuan untuk
mengakui dan menyesali kesalahan dan kejahatan yang dilakukan, disamping selalu
memperbaiki kualitas dirinya.
Sebagaimana firman Allah,
“Maka siapa yang bertaubat sesuadah kedzaliman dan memperbaiki (dirinya)
maka Allah menerima taubatnya....” (QS. Al Maidah: 39).
5. Prinsip Keutamaan
Dengan prinsip ini
ditegaskan bahwa pendidikan bukanlah hanya proses mekanik melainkan merupakan
proses yang mempunyai ruh dimana segala kegiatannya diwarnai dan ditujukan
kepada keutamaan-keutamaan. Keutamaan-keutamaan tersebut terdiri dari nilai
nilai moral. Nilai moral yang paling tinggi adalah tauhid. Sedangkan nilai
moral yang paling buruk dan rendah adalah syirik.
Dengan prinsip keutamaan
ini, pendidik bukan hanya bertugas menyediakan kondisi belajar bagi subjek
didik, tetapi lebih dari itu turut membentuk kepribadiannya dengan perlakuan
dan keteladanan yang ditunjukkan oleh pendidik tersebut. Nabi Saw bersabda, “Hargailah
anak anakmu dan baikkanlah budi pekerti mereka,” (HR. Nasa’i).
Sedangkan
menurut Heri Jauhari Muhtar, bahwa prinsip pendidikan Islam diantaranya adalah
:
1.
Berlangsung Seumur Hidup
Menuntut ilmu itu hukumnya fardhu ‘ain yaitu
kewajiban yang harus dilaksanakan oleh setiap muslim selama hidupnya, karena
itu menuntut ilmu atau pendidikan itu berangsung seumur hidup, yakni sejak
dilahirkan sampai meninggal. Rasulullah SAW bersabda:
“Barang siapa wafat dalam menuntut ilmu
(dengan maksud) untuk menghidupkan Islam, maka antara dia dan para Nabi adalah
satu derajat di Shurga”
(HR. Thabrani)
2.
Tidak dibatasi ruang dan jarak
Pendidikan dalam Islam bisa dilaksanakan
dimana saja. Tidak hanya di ruang kelas saja, tapi di alam terbuka juga bisa.
Bahkan bukan hanya di dalam kota atau di dalam negeri saja, kalau perlu ke luar
kota atau ke luar negeri. Rasulullah SAW bersabda: “Tuntutlah ilmu walau sampai
ke negeri China, karena sesungguhnya menuntut ilmu itu diwajibkan atas orang
Islam, dan bahwasanya malaikat itu akan merendahkan sayapnya kepada orang yang
menuntut ilmu karena rela (senang) pada orang-orang yang menuntut ilmu”
( HR. Ibnu Barri )
3. Berakhlakul
Karimah
Menuntut ilmu sebagai realisasi pendidikan
Islam haruslah memperhatikan adab atau tata tertib, baik ketika berlangsung
proses pembelajaran (ta’lim wa ta’lum)
Rasulullah SAW bersabda: “Tuntutlah ilmu walau
sampai ke negeri China, karena sesungguhnya menuntut ilmu itu diwajibkan atas
orang Islam, dan bahwasanya malaikat itu akan merendahkan sayapnya kepada orang
yang menuntut ilmu karena rela (senang) pada orang-orang yang menuntut ilmu”(
HR. Ibnu Barri )
4. Bersungguh-sungguh dan rajin
Setiap pengalaman ibadah dalam Islam (termasuk
pendidikan) haruslah dilaksanakan dengan bersungguh-sungguh dan rajin
(berkesinambungan) karena hanya dengan demikian akan terwujud harapan serta
akan diridhai Allah.
Rasulullah SAW bersabda: “Khairul a’maali adwamuhaa wa in qalla”
“Sebaik-baik amal perbuatan ialah yang
langgeng berkesinambungan (kontinu), sekalipun sedikit”.
5. Harus diamalkan
Setiap ilmu yang telah dimiliki, dipahami dan
diyakini kebenarannya haruslah diamalkan. Manfaat ilmu baru dirasakan dan lebih
berkah setelah diamalkan.
Orang yang mempunyai banyak ilmu tapi tak
pernah diamalkan bagaikan pohon rindang tapi tak berbuah, jadi kurang atau
tidak bermanfaat, selain itu mereka juga akan sangat menyesal di akhirat kelak.
Bersabda Rasulullah SAW; “Perumpamaan orang
yang menuntu ilmu, lalu tidak mengajarkan, menyebarkan dan mengamalkannya
adalah seperti orang yang menyimpan (menimbun) hartanya tapi tidak pernah
membelanjakannya” ( HR. Thabrani )
6. Guna mewujudkan kemaslahatan/kebaikan hidup
Setiap ilmu yang didapat selain harus
diamalkan juga harus membawa manfaat; baik bagi dirinya sendiri, maupun bagi
orang lain. Misalnya ada perubahan perilaku pada dirinya ke arah yang lebih
baik, setelah ia mendapatkan ilmu. Begitu juga orang-orang di sekitarnya harus
mendapat manfaat dari ilmu yang dimilikinya itu.
Bersabda Rasulullah SAW;
“ Apabila datang kepadaku pergantian
hari-hari, sedangkan pada hari itu aku tidak menambah ilmu yang mendekatkan aku
pada Allah SWT, maka aku tidak akan diberkahi pada hari itu”
(HR.Tirmidzi)
Untuk
berinteraksi dengan dirimu, gunakan nalarmu. Tetapi untuk berinteraksi dengan
orang lain, gunakan HATI-mu!
Tuntutan
perubahan di segala aspek kehidupan, sepertinya tidak bisa ditawar-tawar lagi,
perkembangan masyarakat dunia dari waktu ke-waktu terus mendorong kearah
perubahan, kita sebagai bagian dari masyarakat dunia tersebut,mau tidak mau
dipaksa untuk ikut dalam perubahan itu. Sekarang ini arus globlisasi tidak
terhindarkan lagi, era informasi telah merubah wajah dunia menjadi semakin
indah. Era ini ditandai dengan ciri-ciri seperti menguasai dan mampu
mendayagunakan arus informasi, bersaing terus menerus belajar, dan menguasai
kemampuan menggunakan berbagai teknologi.
Kondisi
ini selanjutnya akan mempengaruhi dunia pendidikan, yang pada giliranya menjadi
tantangan yang harus dijawab oleh dunia pendidikan khususnya Lembaga Pendidikan
Islam. Oleh karena itu melalui slide ini mencoba mendeskripsikan tentang
strategi pengembangan Pendidikan Islam dalam upaya mengantisipasi perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini dan dimasa-masa mendatang.
Berikut
akan dijelaskan bentuk- bentuk tantangan pada lembaga pendidikan Islam dewasa
ini dan dimasa mendatang;
- Tantangan di Bidang Politik,
- Tantangan di Bidang Kebudayaan,
- Tantangan di Bidang Ilmu Pengetahuan & Teknologi,
- Tantangan di Bidang Ekonomi,
- Tantangan di Bidang Kemasyarakatan,
- Tantangan di Bidang Sistem Nilai,
Asumsi yang mendasari sehingga perlunya
rumusan strategi pengembangan pendidikan Islam, yaitu:
1. Pendidikan
islam bertujuan untuk mengembangkan sumberdaya manusia untuk dimanfaatkan bagi
kemaslahatan umat manusia.
- Selanjutnya yaitu untuk menuntun manusia kearah metode berfikir ilmiah serta penguasaaan ilmu pengetahuan.
3. Membantu
anak-anak sera kaum muda memberi mereka semangat menuntut ilmu, keahlian dan
spesialisasi dalam berbagai bidang.
Dari
asumsi tersebut, dapat disimpulkan bahwa sumber daya manusia yang berkualitas
mustahil akan terwujud tanpa adanya peran pendidikan Islam, dan untuk itu semua
diperlukan suatu pendidikan Islam yang tepat.
Begitu
pun sebaliknya sistem pendidikan Islam yang baik dan tepat serta universal
sesuai dengan keinginan umat Islam dan umat manusia pada umumnya tidak akan
tercipta tanpa adanya kepedulian dari pada intelektul muda islam yang
berkualitas dan tangguh dalam memperjuangkan kemaslahatan umat Islam.
Cukup
beralasan jika kita katakan bahwa pendidikan Islam belum siap memasuki era
mellinium ketiga, jika tidak segera berbenah diri di era ini akan menjadi medan
kematian bagi pendidikan Islam. Untuk itu setidaknya ada empat strategi yang
harus ditawarkan dalam upaya menjadikan pendidikan Islam utamanya Lembaga
Pendidikan Islam yang kuat tanpa harus kehilangan jati dirinya sehingga mampu
mencetak sumber daya manusia yang berkualitas. Keempat strategi itu adalah
sebagai berikut:
- Strategi Substantive,
- Strategi Bottom-Up,
- Strategi Deregulatory,
- Strategi Cooperative
Add.1 Strategi Substantive
Lembaga
pendidikan Islam perlu menyajikan program-program yang kompetitif. Dilihat dari
metode penyajianya, program-program tersebut menyentuh tiga aspek pembelajaran,
yaitu kognitif (pemahaman), afektif ( penerimaan/sikap) dan psikomotorik
(pengalaman).
Jika
mengacu pada konsep dasar pendidikan oleh UNESCO, proses pembelajaran di
Lembaga Pendidikan Islam harus dapat membantu peserta didik memiliki lima
kemmpuan, yaitu:
to know
(meraih pengetahuan) , to do (berbuat sesuatu), to be (menjadi diri sendiri), to
live together (hidup berdampingan), to know god’s creation (mengenal ciptaan
Tuhan).
Bila
semua aspek dan kemampuan ini disajikan secara terpadu, maka para lulusan
Lembaga Pendidikan Islam diharapkan memiliki keseimbangan antara kualitas
ilmu/intelektual, iman dan amal/akhlak.
Add.2 Strategi Bottom-Up
Hal ini
berarti bahwa Lembaga Pendidikan Islam harus tumbuh dari bawah. Konsep dan
desaign program serta struktur kelembagaan pendidikan Islam harus disesuaikan
dengan potensi, situasi dan aspirasi masyarakat. Strategi ini diperlukan agar
Lembaga Pendidikan Islam tidak terkesan miliki suatu rezim, Departemen Agama
atau pengurus yayasan yang mengelolanya, tetapi milik masyarakat lingkunganya.
Masyarakat
perlu dilibatkan agar memiliki concern (kepedulian), sense of belonging (rasa
memiliki) dan sense of responsibility (rasa turut bertanggung jawab) terhadap
keberadaan Lembaga Pendidikan Islam di lingkungan mereka.
Add.3 Strategi Deregulatory
Lembaga
Pendidikan Islam sedapat mungkin tidak terlalu terikat pada ketentuan-ketentuan
baku yang terlalu sentralistik dan mengikat. Agar tidak terkesan liar atau
anarkis, diperlukan kebijaksanaan khusus dari jajaran Departemen Agama atau
pemerintah daerah, agar Lembaga Pendidikan Islam bebas berkreasi dan berimpropisasi,
sehingga dapat mengembangkan program-program yang sesuai dengan sifat-sifat
khusus yang dimilikinya.
Lembaga
Pendidikan Islam perlu di beri peluang yang seluas-luasnya untuk mendesaigne
kurikulum, khususnya kurikulum local, mengembangkan sumber belajar, merekrut
tenaga pengajar, terutama tenaga pengajar luar biasa dan mengembangkan
organisasi sekolah sesuai kebutuhan
Add. 4 Strategi Cooperative
Lembaga
Pendidikan Islam perlu mengembangkan jaringan baik antara sesame Lembaga
Pendidikan Islam maupun dengan Lembaga Pendidikan lain. Disamping itu, Lembaga
Pendidikan Islam memerlukan semangat kepeloporan dan kerjasama saling
menguntungkan dengan semua unsur dalam masyarakat.
Alas Fikir
Islam
pada awal perkembangannya sudah mempunyai lembaga pendidikan dan pengajaran.
Lembaga pendidikan dan pengajaran pada saat itu dinamakan kuttab,
disamping masjid, rumah, istana, dan perpustakaan. Kuttab adalah suatu lembaga
pengajaran yang khusus sebagai tempat belajar membaca dan menulis. Pada mulanya
guru-guru kuttab tersebut adalah orang-orang non-muslim, terutama orang-orang
Kristen, Yahudi bahkan yang non-kepercayaan (atheis). Oleh karenanya pada awal
Islam kuttab dijadikan tempat belajar membaca dan menulis saja, sedangkan
pengajaran al-Qur’an dan dasar-dasar agama diberikan di masjid oleh guru-guru
khusus.
Jumhur
Sejarawan sepakat bahwa Madrasah belum muncul sebelum abad IV Hijriyah (sebelum
10 M), sebab madrasah pertama yang diketahui berdiri adalah Madrasah
al-Baihaqiyah di Naisabur. Al-Baihaqiyah yang didirikan di Naisapur
oleh Abu Hasan Ali al-Baihaqi (w. 414 H). Hasil penelitian
seseorang peneliti Richard Bulliet pada tahun 1972, mengungkapkan
bahwa selama dua abad sebelum madrasah Nidzhamiyah di Baghdad
sudah berdiri madrasah di Naisapur sebanyak 39 madrasah dengan madrasahnya yang
tertua yaitu: ´Miyan Dahiyau yang mengajarkan fiqh Maliki.
Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dalam salah satu tulisannya mengenai
pesantren mengatakan bahwa: “Sejarah penyebaran Islam di Indonesia merupakan
hasil perpaduan antara doktrin-doktrin formal Islam dan kultus para wali, yang
berpuncak pada walisongo, sebagai sisa pengaruh pemujaan orang-orang suci
(hermets) dalam agama Hindu”.
Perwujudan
ini, tampak nyata sekali dalam ascetisme
yang menjadi warna kental dari kehidupan agama Islam di negeri ini.
Madrasah
yang pertama kali didirikan di Indonesia adalah Madrasah Adabiyah
di Padang (Sumatera Barat) yang didirikan oleh Syekh Abdullah
Ahmad pada tahun 1909. Nama resminya Adabiyah School. Pada tahun
1915 diubah menjadi HIS Adabiyah. Pada tahun 1910 di
Padang juga didirikan sekolah agama dengan nama Madrasah School,
yang pada tahun 1923 menjadi Diniyah School. Madrasah ini
didirikan dengan harapan dapat mencetak ahli agama yang mampu berkomunikasi
dengan perkembangan ilmu pengetahuan umum dan mengurangi perbedaan antara
lembaga pendidikan Islam dengan lembaga pendidikan sekuler bentukan penjajah.
Memasuki
abad ke-20, muncul kesadaran akan pentingnya sarana pendidikan ditingkatkan
lagi, dan kesadaran ini rata-rata muncul pada dunia Islam dengan asumsi bahwa
pendidikan tidak sekedar sebagai sarana untuk mentransmisikan ide-ide
pembaharuan Islam kepada peserta didik saja, melainkan harus dengan pemenuhan
sarana/media kreatif yang bertujuan untuk memudahkan proses transmisi ilmu
pengetahuan tersebut. Disamping itu, ada beberapa variabel yang menjadi faktor
pendorong lahirnya gerakan pembaharuan diantaranya ialah semakin intensifnya
interaksi dan koneksi antara pusat-pusat studi di Timur Tengah, seperti
Haramain dan Kairo, dengan kelompok-kelompok terpelajar Muslimdi Indonesia.
Madrasah Dalam Lintasan Sejarah
Dekade
awal abad 20, gerakan-gerakan Islam modern berlangsung sejalan dengan atau
setidaknya berkaitan erat dengan berdirinya lembaga-lembaga pendidikan Islam.
Sistem madrasah didirikan sebagai reaksi konstruktif terhadap sistem pendidikan tradisional,
khususnya pesantren di jawa dan surau di sumatera. Usaha pembaharuan pendidikan
Islam tidak berlangsung mudah, karena tercatat dalam fakta sejarah, telah
menimbulkan ketegangan dan gejolak sosial yang melibatkan kaum-muda (kalangan
pembaharu) dengan kaum-tua (kalangan konservatif).
Profesionalisme Madrasah era Klasik
Pengelolaan
pendidikan Islam dengan sistem Madrasi memungkinkan cara belajar
klasikal. Hal tersebut berbeda dengan cara yang berlaku di Pesantren
ataupun Surau yang semula telah mem-baku, yakni bersifat individual
seperti terdapat pada sistem sorongan dan wetonan. Pengelolaan
sistem Madrasi juga memungkinkan adanya pengelompokan-pengelompokan
pelajaran tentang pengetahuan Islam yang penyajiannya secara bertingkat-tingkat
(periodik-method).
Profesionalisme Madrasah era Modern
Profesionalisme
pengelolaan Madrasah pada era-modern tak terlepas dari sisi universalisme kredo
Islam dalam pergumulannya dari zaman ke zaman. Pengelolaan
sistem Madrasi mengorganisasi kegiatan pendidikannya dengan sistem
kelas-kelas berjenjang dengan waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan
pelajaran yang sudah dipolakan.
PENGERTIAN PENDIDIKAN ISLAM
Pendidikan
Islam adalah suatu sistem pendidikan yang berlandaskan ajaran Islam yang
mencangkup semua aspek kehidupan yang dibutuhkan manusia sebagai hamba Alloh
sebagaimana Islam sebagai pedoman kehidupan dunia dan akhirat.
LANDASAN DASAR PENGEMBANGAN PENDIDIKAN ISLAM
Hakikat pendidikan adalah segala upaya dan
usaha untuk menjadikan manusia dewasa sesuai tujuan pendidikan
Azas pendidkan Islam adalah perkembangan dan
pertumbuhan dalam perikehidupan yang seimbang dalam semua seluk beluk kehidupan
secara adil, merata, menyeluruh dan integral.
Model dasar pendidian Islam adalah kemampuan
dasar untuk berkembang dari setiap individu sebagai karunia Tuhan.
Sasaran pendidikan Islam adalah
mengintegrasikan iman dan takwa dengan ilmu pengetahuan dalam pribadi manusia
untuk mewujudkan kesejahteraan dunia-akhirat.
HAKIKAT PENDIDIKAN ISLAM
Hakikat
pendidikan Islam adalah menyadarkan manusia :
- Sebagai makhluk individu yang diciptakan Tuhan yang paling sempurna dan lebih mulia dari makhluk lain (QS. As-Shaad: 71-72),
- Memiliki kedudukan yang lebih tinggi (QS. Al-Isra’: 70).
- Diberi beban tanggung jawab terhadap dirinya dan masyarakat (QS. Al-Isra’: 15).
- Sejalan hal itu, menyadarkan manusia sebagai makhluk sosial yang harus mengadakan interelasi (QS. AL-Anbiya’: 92),
- Berinteraksi, gotong-royong dan bersatu (QS. Al-Imran: 103),
- Bersudara (QS. Al-hujurat: 10), tanpa membedakan berbagai perbedaan baik bahasa atau warna kulit (QS. Ar-Ruum: 22). Disamping itu juga tidak melupakan bahwa manusia sebagai hamba Alloh yang diberi fitrah untuk beragama.
- Sehingga watak dan sikap religiusnya perlu dikembangkan agar mampu menjiwai dan mewarnai kehidupannya sesuai firman Alloh dalam surat Al-An’am: 102-103.
TUJUAN PENDIDIKAN ISLAM
Tujuan
pendidikan Islam secara instruksional adalah
- TIK, mengarahkan anak untuk menguasai suatu ilmu khusus
- TIU, mengarahkan anak untuk menguasai semua ilmu secara umum sebagai kebulatan
- Kurikuler, agar mencapai garis besar program pengajaran di institusi pendidikan
- Institusional, tujuan yang harus dicapai menurut program pendidikan di setiap intitusi
- Umum atau nasional, cita-cita hidup yang ditetapkan untuk dicapai melalui pendidikan formal/ non-formal.
Sedangkan
berdasarkan tugas dan fungsi manusia secara filosofis adalah:
- Individu, belajar mempersiapkan manusia untuk hidup dunia dan akhirat
- Sosial, berhubungan dengan kehidupan manusia dengan masyarakat
Profesional, menyangkut pengajaran sebagai
ilmu, seni dan profesi sebagai kegiatan di masyarakat.
MODEL PENDIDIKAN ISLAM
Model
Pendidikan Islam dengan pendekatan Sistem:
Secara
sistemik manusia dipandang sebagai makhluk integralistik
Secara
pedagogis pendidikan Islam sebagai pengembang potensi dasar secara integral
antara rohani dan jasmani untuk membentuk manusia muslim.
Secara
institusional pendidikan Islam adalah bentuk pendidikan yang bejenjang
Secara
kurikuler pendidikan Islam mengarahkan seluruh komponen dan faktor-faktor
pendukung pendidikan untuk mewujudkan cita-cita Islami.
Pendekatan
Pedagogis dan Psikologis. Dengan pendekatan ini pendidikan menganggap manusia
sebagai makhluk yang sedang mengalami proses pertumbuhan dan perkembangan baik
secara jasmani dan rohani. Pendekatan sistem ini menganalisis lima unsur
pendidikan yaitu:
Pendidik, harus memenuhi sebagai seorang pendidik yang ideal
Anak didik diposisikan sebagai objek pendidikan
Alat pendidikan
Lingkungan
Tujuan pendidikan Islam
Model Pendidikan Islam dengan pendekatan Spiritual
Dalam
pandangan agama manusia diberi dua pilihan yaitu jalan sesat yang mejerumuskan
ke jurang nista dan jalan kebenaran yang menuntun manusia menuju keridhaan
Alloh. Sehingga merasakan bahagia dunia-akhirat.
Proses
pendidikan harus mengarahkan peserta didik menjadi manusia yang dedikatif dan
berserah diri kepada Alloh. Materi pendidikan harus mengarahkannya dari
asal-usul manusia sehingga dia akan mengerti arti hidup.
Kurikulum
materi pendidikan harus mengandung nilai-nilai Islami.
Strategi
operasional pendidikan adalah meletakkan anak didik dalam posisi pendidikan
seumur hidup.
PRINSIP-PRINSIP PENDIDIKAN ISLAM
Allah SWT berfirman dalam surat An-Nissa: 9
yang berbunyi:
واليخش الذين لو تركوا من خلفهم ذرية ضعافا خافوا عليهم فليتقوا الله
واليقولوا قولا سديد
Dalam Al-Quran dijelaskan bahwa ada 3 macam kedudukan anak yaitu:
1. Anak sebagai perhiasan;
Dalam Al-Quran dijelaskan bahwa ada 3 macam kedudukan anak yaitu:
1. Anak sebagai perhiasan;
2.
Anak sebagai sumber penderitaan;
3.
Anak sebagai penyejuk hati (anak yang sholeh).
Untuk
mendapatkan anak yang sholeh, anak sebagai penyejuk hati diperlukan pendidikan
yang
baik
semenjak dini yang berdasarkan pada Islam.
MATERI PENDIDIKAN ISLAM
Para
tokoh pendidikan Islam masa lalu membagi ilmu menjadi beberapa bagian.
Al-Farabi
membagi materi menjadi ilmu bahasa, sains persiapan, fisika dan metafisika, dan
ilmu kemasyarakatan. Ibnu Kholdun membagi menjadi ilmu syariah, filsafat, ilmu
alat yang membantu agama dan ilmu alat yang membantu faldafah.
Sedangkan
secara umum al-Ghazali membagi menjadi ilmu fardu ‘ain (agama: al-qur’an,
hadits dan ilmu bahasa) dan fardu kifayah (dunia: sains dan sosial). Dan Ibnu
Sina membagi menjadi ilmu teori (mipa dan ) dan ilmu praktik (akhlak dan
politik).
METODE DALAM PROSES PENDIDIKAN ISLAM
Metode suasana gembira (QS. Al-Baqarah: 25 dan
185)
Metode lemah lembut (QS. Al-Imran: 159)
Metode bermakna (QS. Muhammad: 16)
Metode prasyarat atau muqadimah (QS.Al-Baqaah:
1-2)
Metode komunikasi terbuka (QS. Al-A’raf: 179)
Metode memberikan pengetahuan baru (QS.
Al-Baqarah: 164 dan Al-Fushilat: 153)
Metode uswatun hasanah (QS. Al-Ahzab: 21)
Metode praktek atau pengamatan aktif (QS.
As-Shof: 2-3 dan Al-Baqarah: 25)
Metode bimbingan, penyuluhan (QS. Al-Anbiya’:
107 dan An-Nahl: 25)
Metode cerita (QS. Al-A’raf: 176)
Metode perumpamaan (QS. Ibrahim: 18)
Metode hukuman dan hadiah (QS. Al-Ahzab:
72-73)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar